Selasa, 15 Februari 2011

PENGENALAN MAQOMAT

pengenalan maqomat
Sebagai Bukti Tasawuf Akan Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah Swt
By. Sadid Al-Muqim

LATAR BELAKANG
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
Etimologi
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Objek dari ilmu ini adalah hati dan dzat Allah SWT, yang kemudian diperkenalkan oleh Rosulullah dalam bentuk modeling atau top figur untuk kemudian sebagai contoh untuk sahabatnya.
Pandangan Fuqoha’ kepada Sufi
·         Imam Malik (94-179 H./ 716-795 M)
Imam Malik: "man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq”. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasauf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasauf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasauf dan fikh dia meraih kebenaran)." (buku 'Ali al-Adawi ).
·         Imam Shafi'i (150-205 H. / 767-820 M)
Imam Shafi'i: "Saya bersama orang sufi dan aku menerima 3 ilmu: (1) mereka mengajariku bagaimana berbicara; (2) mereka mengajariku bagaimana meperlakukan orang dengan kasih dan hati lembut (3) mereka membimbingku ke dalam jalan tasauf. [Kashf al-Khafa and Muzid al-Albas, Imam 'Ajluni]
·         Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H./780-855 M)
Imam Ahmad: "Ya walladee 'alayka bi-jallassati ha'ula'i as-Sufiyya. Fa innahum zaadu 'alayna bikathuratil 'ilmi wal murqaba wal khashiyyata waz-zuhda wa 'uluwal himmat” (Anakku jika kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi), Tanwir al-Qulub, Shaikh Amin al-Kurdi.
Imam Ahmad, tentang Sufi:"Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka" (Ghiza al-Albab)
Juga dari beberapa ulama’ yang lain, namun tidak penulis cantumkan semua, karena intisari dari pendapat itu adalah sama. Tasawuf sebagai manifestasi ibadah pendekatan diri yang paling sempurna kepada Allah SWT.

Dari pengertian dan pendapat beberapa ulama’, terlebih ulama’ fiqh, dapat menarik pertanyaan bahwa kenapa begitu mulianya mereka yang memegang teguh tasawuf sebagai jalan hidupnya, meinnggalkan dan menanggalkan dunia hanya untuk terus mendekatkan diri kepada Allah.
Atas dasar itu, penulis ingin membedah kemulyaan tersebut lewat prilaku mereka, baik yang bersifat ruhani atau nyata (overt dan covert), yang kemudian termanifestasikan pada prilaku setiap saat. Beberapa tingkatan atau macam dari ide pokok kegiatan (hal atau keadaan) mereka terangkum dalam sebuah istilah maqom. Hingga pengertian kemulyaan tersebut bukan dari mereka para sufi sendiri, tapi dari alam, juga Allah SWT.
Selamat menikmati.


KAJIAN TEORI
Penulis masih ragu manyatakan pembahasan ini adalah tingkatan atau tahap, karena penulis akan menggunakan kata ”perihal” gambaran sikap ulama’ sufi dalam kehidupan setiap saat. Berikut adalah beberapa maqom dari sufi (bukan aturan yang dibentuk, tapi lebih pada tanda dan ciri bagi ulama’ sufi), diantaranya:
Akhlaq
Allah swt. berfirman:"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung." (Q.s. A-Qalam: 4). Diriwayatkan oleh Anas bahwa seseorang bertanya kepada Nabi saw : "Wahai Rasulullah, siapakah di antara orang-orang beriman yang paling utama imannya?" Beliau menjawab: "Yaitu mereka yang paling baik akhlaknya." (H.r. Ibnu Majah)
Akhlak yang baik adalah keutamaan sejarah hidup hamba, sehingga mutiara-mutiara seseorang dapat tampak. Manusia itu terlapisi oleh fisiknya, namun terungkap oleh akhlaknya. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq juga berkata, "Allah swt. menganugerahi Nabi-Nya saw. dengan keistimewaan sifat beliau, dengan pujian yang sama sekali tidak pernah dipujikan kepada makhluk lain. Karena itu Allah swt. berfirman, 'Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur'.
Muhammad al-Wasithy mengatakan, "Allah swt. memberi predikat beliau dengan akhlak yang agung, karena beliau merelakan diri dari dunia dan akhiratnya, dan merasa puas hanya dengan Allah swt. semata." Al-Wasithy juga mengatakan, "Akhlak yang mulia berarti orang tidak bertengkar dengan orang lain, tidak memusuhi oleh mereka, karena hamba itu diluapi kedahsyatan ma'rifat kepada Allah swt." Al-Kattany menegaskan, "Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah dalam akhlak berarti bertambah pula dalam tasawuf."

Firasat
Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan tanda tanda (firasat)." (Q.s. AI Hijr: 75). Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "Orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda" adalah orang-orang yang mempunyai firasat. Diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudry, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab ia melihat dengan nur Allah swt." (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Firasat adalah nuansa yang datang menyelusup secara tiba-tiba ke dalam hati, dan menafikkan segala sesuatu yang berlawanan; dengan demikian memiliki ketentuan hukum dalam hati. Firasat mempunyai akar kata yang sama dengan kata farisah, yang berarti mangsa binatang buas. Jiwa si hamba tidak dapat menentang firasat, yang merupakan kriteria potensi keimanan. Siapa pun yang lebih kuat imannya, lebih tajam pula firasatnya.
Abu Sa'id al-Kharraz berkomentar, "Seseorang yang melihat dengan cahaya firasat identik melihat dengan cahaya Al-Haq; muatan ilmunya datang dari Al-Haq, tidak bercampur dengan kelalaian. Bahkan, ketentuan Allah mengalir melalui lisan si hamba." Muhammad al-Kattany berkata, "Firasat adalah mukasyafah dalam tahap yakin, dan menyatakan kegaiban. Ia adalah salah satu tahapan keimanan."

Futuwwah
Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk." (Q.s. AI-Kahfi: 13). Rasulullah saw. bersabda:"Allah swt. memberikan perhatian pada kebutuhan seorang hamba selama hamba itu memperhatikan kebutuhan saudaranya yang Muslim." (H.r. Thabrani, riwayat dari Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit).
Menurut Syeikh ad-Daqqaq, Futuwwah pada prinsipnya adalah kepedulian secara terus-menerus yang dilakukan seorang hamba kepada orang lain. Al-Junayd mengatakan, "Futuwwah dapat ditemukan di Syam, kefasihan bahasa di Iraq, dan kejujuran di Khurasan." Al-Fudhail menegaskan, "Futuwwah berarti memaafkan kesalahan sesama manusia." Dikatakan pula, Futuwwah berarti seseorang tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain." Abu Bakr al-Warraq menegaskan, "Orang yang bersifat futuwwah adalah mereka yang tidak punya musuh." Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan, "Futuwwah berarti engkau adalah musuh bagi dirimu sendiri, demi Tuhanmu." Dikatakan, "Manusia yang memiliki sifat futuwwah tidak akan pernah memusuhi siapa pun."
Al-Harits al-Muhasiby berkata, "Futuwwah menuntut agar engkau berlaku adil kepada orang lain, tapi juga mau diadili oleh orang lain." Amr bin Utsman al-Makky mengatakan, "Futuwwah adalah memiliki akhlak yang baik."

Dikir
Allah swt. berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak banyaknya." (Q.s. Al Ahzab: 41).
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: "Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalmu terbaik dan paling bersih dalam pandangan Allah swt, serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?" Para sahabat bertanya, "Apakah itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Dzikir kepada Allah swt." (H.r. Baihaqi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt, kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya."
Ada dua macam dzikir; Dzikir lisan dan dzikir hati. Hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir lisan. Tetapi dzikir hatilah yang membuahkan pengaruh sejati. Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisan dan hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam suluknya. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, "Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat."
Dikatakan, "Dzikir hati adalah pedang para pencari yang dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang tertuju kepada mereka. Jika hamba berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya, maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt, semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga."

Malu
Firman Allah swt.: "Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?" (Q.s. Al 'Alaq: 14). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: "Malu adalah sebagian dari iman." (H.r. Tirmidzi). Juga sabda beliau pada suatu hari kepada para sahabat: "Malulah kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya." Mereka berkata, "Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabi Allah, dan segala puji bagi-Nya!" Beliau bersabda, "Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah swt, hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur orang yang menghendaki akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan duniawi. Orang yang melakukan semua ini, berarti ia memiliki rasa malu yang sebenarnya di hadapan Allah." (Hr. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
Ibnu Atha' menegaskan, "Bagian terbesar dari ilmu adalah rasa gentar dan malu. Jika yang dua ini lenyap, tiada lagi kebaikan." Dzun Nuun al-Mishry berkata, "Malu berarti bahwa engkau merasakan kegentaran dalam hatimu, sangat takut akan masa lalu yang telah engkau lakukan di hadapan Allah swt." Ia juga mengatakan, "Cinta membuat orang berbicara, malu membuat orang terdiam, dan takut membuat orang gelisah." Ada beberapa macam malu, yaitu:
1)      Malu dikarenakan pelanggaran, seperti malu Nabi Adam as. ketika ditanya, "Apakah engkau berniat lari dari Kami?" Beliau menjawab, "Tidak, karena malu di hadapan-Mu."
2)      Malu karena terbatas, seperti malu para malaikat yang mengatakan, "Maha Suci Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak sebagaimana selayaknya Engkau disembah."
3)      Malu karena mengagungkan, seperti malu Israfil as, yang menutupkan sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah.
4)      Malu karena kemuliaan hati, seperti malu Rasulullah saw, ketika malu untuk mempersilakan pergi tamu-tamu beliau.
5)      Malu karena enggan, seperti malu Ali bin Abu Thalib r.a. ketika menyuruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan kepada Nabi saw. tentang hukumnya madzy (lendir yang mengalir dari alat kelamin laki laki, keluarnya air mani).
6)      Malu karena terlalu remeh untuk diungkapkan, seperti malu Musa as. ketika munajat, "Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku."
Akhirnya, ada malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang merupakan Malu Allah swt. Dia memberikan buku yang distempel kepada seorang hamba setelah melewati jembatan di akhirat. Di dalam buku itu tiba-tiba tertulis, "Engkau telah melakukan (dosa) ini dan itu. Aku malu menunjukkannya kepadamu, karena itu pergilah; Aku telah mengampunimu!" Ada lima tanda celaka seorang manusia:


®    Kerasnya hati,
®    bengisnya mata,
®    tiadanya rasa malu,
®    hasrat terhadap dunia, dan
®    lamunan yang tiada terbatas.



Jujur
Allah swt. berfirman: "Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur." (Q.s. At-Taubah: 119). Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur; dan jika ia tetap berbuat dusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta." (H.r. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kejujuran (shidq) adalah tiang penopang segala persoalan, dengannya kesempurnaan dalam menempuh jalan ini tercapai, dan melaluinya pula ada tata aturan. Kejujuran mengiringi derajat kenabian, sebagaimana difirmankan Allah swt.: "…maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi dan orang-orang yang menetapi kejujuran (shiddiqin), para syuhada' dan orang orang saleh." (Q.s. An-Nisa': 69).
Kata shadiq (orang yang jujur) berasal dari kata shidq (kejujuran) Kata shiddiq adalah bentuk penekanan (mubalaghah) dari shadiq, dan berarti orang yang didominasi oleh kejujuran. Demikian juga halnya dengan kata-kata lain yang bermakna penekanan, seperti sikkir dan pemabuk, yang penuh anggur (khimmir).
Derajat terendah kejujuran adalah bila batin seseorang selaras dengan perbuatan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya. Shiddiqy adalah orang yang benar-benar jujur dalam semua kata-kata, perbuatan dan keadaan batinnya.

Ikhlash
Allah swt. berfirman: "Ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih (dari syirik)." (Q.s. Az Zumar: 3). Anas bin Malik r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim jika ia menetapi tiga perkara: IkhIas beramal hanya bagi Allah swt, memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa, dan tetap berkumpul dengan masyarakat Muslim." (H.r. Ahmad, dikategorikan shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar).
Ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah swt. sebagai satu-satunya sesembahan. Sikap taat dimaksudkan adalah taqarrub kepada Allah swt, mengesampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia. Ataupun konotasi kehendak selain taqarrub kepada Allah swt. semata. Dapat dikatakan, "Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk" Dikatakan juga, "Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan manusia."

Istiqomah
Allah swt. berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah,' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka, 'Hendaknya kamu sekalian tidak takut dan tidak gelisah, dan hendaknya kamu sekalian bergembira dengan surga yang telah dijanjikan untuk kamu sekalian." (Q.s. Fushshilat: 30). Riwayat dari Tsauban, bekas budak Rasulullah saw, menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Berteguh-hatilah (istiqamahlah) kamu, meskipun kamu tidak akan mampu melakukan sepenuhnya. Ketahuilah bahwa bagian terbaik dari agamamu adalah shalat, dan tiada seorang yang akan memelihara wudhu, kecuali orang yang beriman." (H.r. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi).
Syeikh Ali ad-Daqqaq berkata, "Istiqamah adalah derajat yang menjadikan urusan-urusan seseorang menjadi baik dan sempurna, dan memungkinkannya untuk mencapai manfaat manfaat secara tetap dan teratur. Upaya dan perjuangan orang yang tidak teguh hati akan sia-sia."
Orang yang tidak istiqamah dalam keberadaannya tidak akan pernah meningkat dari satu tahapan ke tahapan maqam berikutnya, dan suluknya tidak akan kokoh. Salah satu persyaratan yang perlu pada awal suluk adalah memenuhi persyaratan-persyaratan istiqamah dalam hukum kepermulaan. Sebagaimana bagi 'arifin, istiqamah merupakan pangkalnya. Tanda istiqamah dari mereka yang mulai menempuh suluk adalah bahwa amal-amal lahiriah mereka tidak dicemari oleh kesenjangan. Bagi mereka yang berada pada tahap pertengahan (ahlul wasaith) adalah bahwa tidak ada kata "berhenti". Tanda istiqamah mereka yang berada pada tahap akhir adalah, bahwa tidak ada tabir yang melindungi.

Ridlo
Allah swt. berfirman: "Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadaNya." (Q.s. Al Maidah: 119; Al Bayyinah: 8)
Ulama Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai ridha. Apakah ia termasuk keadaan ruhani (ahwaal) ataukah maqam? Ulama Khurasan mengatakan, "Ridha adalah salah satu maqam, sebagai puncak dari tawakkal kepada Allah swt. Ini berarti bahwa ridha dapat dicapai oleh si hamba dengan upayanya sendiri." Sedang ulama Iraq mengatakan, "Ridha adalah salah satu ahwal, bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya si hamba. Ridha adalah sesuatu yang memasuki hati, seperti halnya haal-haal yang lain."
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Ridha bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, ridha hanyalah bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap hukum dan qadha Allah swt."
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan, 'Ada tiga tanda ridha, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta di tengah tengah cobaan."

Muroqobah
Al Jurairy berkata, "Orang yang belum mengukuhkan rasa takwa dan muraqabah dirinya kepada Allah swt. tidak akan mencapai mukasyafah dan musyahadah."
Dzun Nuun al Mishry mengatakan, "Tanda muraqabah adalah memilih apa yang dipilih oleh Allah swt, menganggap besar apa yang dipandang besar oleh Nya dan menganggap remeh apa yang dipandang Nya remeh."
Ibrahim an Nashr Abadzy menegaskan, "Harapan (raja') mendorongmu untuk taat, takut (khauf) menghindarkanmu dari maksiat; dan muraqabah diri membawamu kepada jalan kebenaran hakiki."
Ketika ditanyakan kepada Ja'far bin Nashr mengenai muraqabah, ia berkata kepada saya, "Muraqabah adalah menjaga diri terhadap sirri dikarenakan adanya kesadaran akan pengawasan Allah swt. terhadap setiap bisikan."

Wara’
Dinwayatkan oleh Abu Dzar al Ghiffary, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Wara' adalah meninggalkan apa pun yang syubhat." Demikian pula, Ibrahim bin Adham memberikan penjelasan, “Wara' adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan."
Ishaq bin Khalaf mengatakan, "Wara' dalam bicara lebih sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari kekuasaan lebih sulit ketimbang menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan." Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, "Wara' adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha."


KRITIS ANALISIS
silahkan menghubungi ridho.huda@yahoo.com jika ingin mendapatkan file lengkap makalah ini. atau comment makalah ini. trims.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar