Jumat, 27 Agustus 2010

HIDE and SEEK


Review Film
HIDE and SEEK
Dosen pembimbing: Tristiadi Ardi Ardani, M.Si

Oleh :
Sadid Al Muqim (05410065)

bab i
pengantar dan sinopsis
pengantar
Bismillahirrahmanirrahim. Ribuan puji kami sembahkan kepada Allah SWT. yang menciptakan akal untuk berpikir dan hati untuk merasa. Lantunan sholawat kami berikan kepada junjungan nabi agung Muhammad SAW. revolusionis dunia dengan ilmu pengetahuan.

Sinopsis
Review Psikomovie “Hide and Seek”
Twentieth Century Fox kembali mengeluarkan film berkelas dunia, diproduksi oleh Josephson Entertaiment, perusahaan film besar ini mengeluarkan HIDE and SEEK dengan aktor besar Robert Deniro sebagai Dr. David Callaway dan Dakota Fanning sebagai Emily Callaway, anak perempuan Dr. David Callaway.
First day of the new years, New York City, hari pertama tahun baru di kota New York, seorang anak bernama Emily Callaway (Dakota Fanning) gembira bermain dengan ibunya di taman kota, sang ayah datang dengan wajah ikut gembira bergabung dengan mereka, namun tampaknya kehadirannya tampak tidak diharapkan oleh keduanya, kasihan.
Malam harinya, si Ibu mendatangi Emily untuk mengucapkan selamat istirahat ke anaknya, karena hanya dialah yang paling dia cinta, didunia, namun kemudian si Ibu seakan mengucapkan salam terakhir, dikehidupannya. Pukul 02.06 pagi, si Ayah (Robert Deniro sebagai Dr. David Callaway) terjaga dari tidurnya, terkaget, dia menuju kamar mandi, merasa keadaan yang janggal, si ayah semakin penasaran, ia membuka pintu bak mandi dan mendapati si istri, Alison (Amy Irving) sudah tidak bernyawa lagi, keadaan menjadi terbalik, terlebih Emily sudah berada di belakang si ayah menyaksikan keadaan si ibu.
New York City Children’s Hospital, rumah sakit anak-anak kota New York, keadaan Emily semakin buruk, dia tertekan karena ditinggal oleh ibunya. Psikiater (Stewart Summers) yang menangani Emily begitu memperhatikannya, sehingga dia berusaha bersama ayahnya untuk mengembalikannya seperti semula. Akhirnya Emily dibawanya kepedalaman, hidup bersama ayahnya. Namun hal tersebut tidak langsung membawa Emily kembali bahagia, gambaran kematian ibunya yang dia anggap bunuh diri masih terngiang.
Esok setelah pindahan, aktifitas pun dimulai, si ayah ‘terlihat’ memulai dengan tulisan dan musiknya, dan Emily besama Alice, bonekanya, berjalan menulusuri hutan, ia mendapati sebuah gua dan menyaksikan sesosok keluar dari dalamnya, Charlie. Begitu senangnya dia dengan Charlie, sehingga Emily membuang Alice, seolah tidak membutuhkan lagi. Disisi lain, si ayah ingin mengajaknya ke luar rumah, jalan-jalan untuk mengganti suasana, namun dibalik pintu telah ada Laura (Melisa Leo), tetangga sebelah yang menawarkan perkenalan sekaligus memberi sesuatu untuk mempereratnya, setelah itu berangkatlah mereka. Ditengah perjalanan, si ayah bertemu dengan Elizabeth (Elisabeth Shue), ia sedang menunggu seorang anak bermain, perkelan pun terjadi.
Malam harinya, si ayah mendatangi kamar Emily, ingin mengucapkan selamat tidur padanya, tapi si ayah terkaget karena Alice (boneka Emilya) tidak lagi bersama dengan dirinya, akhirnya terjadilah dialog, dan Emily dengan gembira bahwa dirinya telah mendapat teman baru bernama Charlie, tapi Emily belum mau untuk memperkenalkannya pada ayahnya.
Si ayah merasa kawatir dengan keadaan yang semakin aneh, menurutnya ia telah mendapati Emily mempunyai teman hayalan akibat trauma, sehingga ia menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Si ayah akhirnya menghubungi kembali Psikiater (Stewart Summers) untuk meminta pendapat, ia berpendapat untuk menghabiskan waktunya bersama Emily. Si ayah mempunyai inisiatif untuk mengajak Emily memancing di danau disebelah rumah barunya. Emily sedikit terlihat gembira.
Malam harinya, pukul 02.06, si ayah kembali terbangun, ia merasakan kembali hal aneh, si ayah bergegas menuju kamar mandi, suasana yang mencekam, si ayah membuka tirai bak mandi dan mendapati tulisan didinding nya, “YOU LET HER DIE”, kau membiarkannya mati, si ayah terkaget dan bersamaan itu pula Emily telah berada dibelakangnya, si ayah menanyai apakah Emily yang melakukannya, dan kenapa, tapi Emily hanya menjawab “Charlie yang melakukannya”.
Keesokan harinya, si Ayah mengundang Elizabeth dan kemenakannya, Amy, untuk diperkenalkan pada Emily, namun keadaan berbalik, Amy menjadi ketakutan melihat keadaan Emily, ia bergegas pulang bersama bibinya,. Emily tidak membutuhkan teman lagi.
Keesokan harinya Emily bemain diluar rumah, ditemani oleh Steven, suami Laura tetangganya, senyumpun kembali terlihat karena Steven begitu menyayanginya pula, namun sayangnya tindakannya itu tidak disetujui oleh ayahnya. Si ayah mencoba kembali untuk mengajak Emily dialog, tentang teman barunya, Charlie, tapi Emily tetap terdiam dan seakan semakin menikmati keadaanya, tapi juga semakin aneh. Elizabeth datang kembali untuk melihat keadaan Emily, tapi tetap saja Emily tidak menerimanya, juga beberapa pemberiannya, karena Charlie.
Malam selanjutnya, pukul 02.06, si ayah kembali terjaga dari tidurnya, perasaan yang sama kembali muncul, si ayah menuju kekamar mandi, membuka tirai, “now look what you’ve done menjadi sajian awal, ia menemukan mayat kucing piaraannya. Si ayah bergegas menuju kamar Emily untuk mengintrogasinya, tapi Emily tetap bicara, “Charlie yang melakukannya”. Si ayah ketakutan dan segera mengurungnya di kamar, walau Emily berusaha telah berusaha meyakinkannya. Si ayah berulang kali mencoba berinteraksi pada Emily, tapi tetap tidak bisa. Akhirnya Emily membawanya ke kamarnya, dan memperlihatkan gambarnya tentang Charlie.
Esok harinya, si psikiater datang mengunjunginya, namun dialog pun tetap pasif adanya, Emily tidak memberitahukan siapa Charlie, Emily hanya berkata bahwa dia senang bermain dengannya, bermain petak umpet (hide n seek). Si psikiater mempunyai pendapat agar membawa Emily ke kliniknya aga dapat dievaluasi lebih lanjut lagi, tapi si ayah ingin mencobanya 2 minggu lagi.
Disisi lain, Laura dan Steven, tetangga Emily dan ayahnya, ternyata mengalami hal yang tragis, anak perempuannya meninggal beberapa saat yang lalu, itulah sebabnya kenapa mereka sangat sayang pada Emily, karena Emily mirip sekali dengan anaknya.
Elizabeth tetap tidak bosan memberi dukungan. Pagi itu dia kembali pada Emily, merasa tidak ada jawaban atas panggilannya, ia langsung masuk, dan menuju kamar Emily, Elizabeth mencoba ingin mengetahui siapa Charlie, tapi begitu dia mengetahui siapa Charlie, dia didorong olehnya sehingga jatuh dari lantai 2, didepan mata Emily.
Malam harinya, si ayah terbangun karena polisi setempat yang datang, ia memberi pertanyaan pada si ayah tentang Elizabeth yang telah hilang, tapi si ayah tidak bisa memberi informasi lebih, polisi itupun pergi dan tetap meminta pertolongan jika ada informasi lebih lanjut. Berselang waktu sejenak, Emily menangis ketakutan, si ayah datang untuk mencoba untuk mengetahui apa yang terjadi, tapi Emily tetap menangis dengan menunjukkan jamnya, pukul 02.06, si ayah bergegas menuju kamar mandi, seolah tahu apa yang akan terjadi. Si ayah terkaget melihat tulisan ditirai bak mandi, “CAN YOU SEE NOW”, kemudian dia membukanya, terlihat mayat Elizabeth, si ayah lalu mengurung Emily kembali dalam kamarnya, dan si ayah mencoba mencari Charlie diluar rumah, mungkin dia belum jauh.


bab ii
identifikasi masalah dan analisa kasus
identifikasi masalah
Setelah sejenak menyimak film EKSKUL dan Joshua sebagai peran utama juga sekaligus peran remaja, penulis menemukan beberapa kesimpulan problematika yang dialami oleh pelaku, yaitu;
1.       Pribadi introvert yang dimiliki pelaku, sehingga sering me-repres perasaan dan keinginan sebagai kebutuhannya.
2.       Hubungan sosial remaja yang kurang harmonis, terutama dengan orang tua yang biasa kasar, agresif verbal atau non verbal, sehingga terjadi gap.
3.       Hubungan sosial remaja bersama teman sebaya-nya yang tidak terjalin bagus, sehingga beberapa teman memperlakukannya dengan keras.
4.       Evek dengar, membuat pelaku seolah mempunyai dua kepribadia (split personality).
5.       Dari beberapa konflik dan tekanan yang dirasakan pelaku, sehingga membuat aktualisasi dirinya seolah nekat dan cenderung agresif.

analisa kasus
Status remaja baru diakui pada sekitar akhir abad 19 atau awal abad 20, karena faktor masyarakat yang semakin berubah. Masa remaja berjalan antara sekitar umur 12 hingga 18 tahun.
Salah satu Teori perkembangan yang ditawarkan Urie Bronfenbrenner adalah teori Ekologi dengan lima sistem lingkungan (mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem). Dalam hal ini sistem yang paling penting adalah mikrosistem atau microsystem, yakni setting dimana individu hidup. Konteks ini meliputi keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan. Dalam sistem inilah individu melakukan interaksi langsung dengan agen-agen sosial (orang tua, teman sebaya, guru dan agen sosial lainnya).Dilanjutkan mesosistem juga tidak kalah pentingnya, yaitu hubungan antara beberapa konteks.
Seperti yang dirasakan oleh Joshua. Gap yang terjadi antara dirinya dengan agen sosial dalam lingkup yang kecil, membuat dirinya sering diperlakukan secara tidak layak. Gap tersebut tecipta seiring perkembangan pengalaman, input ataupun bentuk imitasi yang dia terima, baik berupa pergaulan, pemecahan masalah, perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealisme dan penalaran, perubahan social yang terfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orangtua, harapan yang dilanggar oleh orang tua dan remaja atau bahkan hanya sekedar penampilan saja, sehingga terproyeksikan pada prilaku sehari-hari. Ditambah lagi beberapa peran yang di sandang oleh pelaku.
Dari sisi lain, kasuistik ini (tentang Joshua) juga dapat dipandang dari pendekatan behavioristik, dimana dari sekian stimulus yang dia terima mengakibatkan repres (sikap menimbun perasaan dan menahannya dalam alam bawah sadar) yang kemudian dapat menimbulkan respon secara besar dan cenderung negatif, akibatnya proses aktualisasi diri sering kali dinilai agresif, baik itu verbal atau non verbal. Kebenaran yang hanya benar menurut dia berujung pada kesalahan yang impulsif, karena banyaknya pemikiran abstrak yang digunakan.
Masa remaja lebih dipandang sebagai masa pengambilan keputusan dan komitmen dari masa krisis dan pathologi. Kenakalan remaja mengacu perilaku yang tidak diterima secara sosial ke pelanggaran status hingga tindakan-tindakan kriminal. Faktor yang mendorong kenakalan meliputi identitas negatif, derajat pengendalian yang rendah, harapan yang rendah pada pendidikan dan komitmen yang rendah terhadap pendidikan, kuatnya pengaruh teman sebaya, kegagalan orang tua memantau anak renaja mereka secara memadai, disiplin yang tidak efektif oleh orang tua.
Anak remaja mendabakan kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang disekelilingnya. Mereka ingin sekali diakui sebagai seorang pribadi,  ingin bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dia sering membuat pernyataan-pernyataan khusus yang berbeda dengan orang dewasa untuk menunjukkan kebebasannya. Misalnya cara berpakaian, musik yang digemari, cara menyusun rambut atau menggunakan bahasa yang khusus yang hanya dapat dimengerti oleh anak remaja.
Pada masa hal yang dibutuhkan adalah pengakuan akan dirinya sebagai individu yang utuh dengan segala atributnya, akan tetapi masih terbentur dengan kurang matang emosi yang dimiliki sehingga membutuhkan saran dari orang yang dekat dengab dirinya, terutama orang tua. Bila tidak disikapi dengan cermat bisa saja memunculkan problem baru. Pada tahap ini pula remaja selalu mencari perhatian untuk menunjukkan eksistensinya, rentan sekali dengan pengaruh yang terjadi sekarang ini sebab tidak hanya perhatian dari orang tua saja yang dituntut, tetapi perhatian juga dari lingkungan di mana dia tinggal sehingga identitas diri remaja dapat terbentuk utuh.
Remaja juga masih rentang dengan pengaturan emosi diri. Tidak jarang mereka yang belum dapat menguasai juga beberapa tekanan mental yang berkelanjutan akan menimbulkan depresi yang kemudian memunculkan halusinasi, seperti halnya halusinasi dengar.
Beberapa pengalaman yang dipersembahkan Joshua adalah problematika yang hendaknya dapat diantisipasi lebih lanjut. Terima kasih.


daftar pustaka
·        Live-Span Development, Jilid I, Edisi Kelima
·        Live-Span Development, Jilid II, Edisi Kelima
·        Keterangan Dosen dalam lokal perkuliahan

Jumat, 20 Agustus 2010

SHOULD YOU PUNISH YOUR CHILD?


Sadid Al Muqim 

el.daquinta@yahoo.com

Psychology Department

Study of English Language

Islamic University of Malang

SHOULD YOU PUNISH YOUR CHILD?
GINA GREEN, PH.D. Researcher, New England Center for Children; Past-president, Association for Behavior Analysis The best way to reduce misbehavior is to provide abundant positive reinforcement for good behavior. Punishment in the form of unpleasant consequences might stop misbehavior, but it often has undesirable side effects. A child whose behavior is punished may react emotionally, strike back or avoid the person delivering the punishment. Instead of punishing misbehavior, try to catch your child being good. Tell her that you appreciate what she's doing, and do so frequently and consistently. At the same time, make sure misbehavior doesn't pay off by enabling your child to avoid homework or chores, for example, or to gain attention.

NORINE G. JOHNSON, PH.D. Past-president, American Psychological Association. If you want a loving, respectful, self-disciplined child you won't use punishment. You will use appropriate parenting tools. For young children you will use diversion, structure, limits and withdrawal of attention. For older children, you will set expectations and spell out the rewards or consequences. In junior high, I took corn from a farmer's field. My father saw me with the corn and asked me to tell the truth, otherwise my punishment would have been twice as bad. I told the truth. I had to apologize to the farmer and eat the raw corn. Today, I value the truth and always wonder what my punishment would have been. 

TERRY MIZRAHI, M.S.W., PH.D. President, National Association of  Social Workers; Professor, Hunter College School of Social Work Punishment implies aggressive behavior on the part of an adult, the very behavior we oppose in children. It breeds resentment, and often leads to increased violence and serious abuse. I'd reframe the question: How do you teach your children to do the right thing; to be caring human beings who understand both their own and others' needs? Social workers recognize that good parenting involves nonviolent, age-appropriate means of disciplining children. I believe that parents should be positive role models and teach their children the negative consequences of adverse behavior by using incentives, time-outs and establishing firm, rational limits.

JAMES MORRIS, PH.D. Professor, Texas Woman s University; President, American Association of Marriage and Family Therapy The word "punish" means subjecting a penalty for an offense, and usually includes inflicting some kind of hurt. In parenting, such punishment is often practiced by spanking children. The relative benefit and, or, harm of such punishment is open to question, and certainly involves consideration of the unique culture of each family as well as the community in which they are a part. However, the continuing tragic outbursts of violence by children have served to alert us about our responsibilities as parents, and as members of our communities. As such, we would do well as parents to carefully practice less violent ways of discipline that encourage the healthy development of our children.

Kamis, 19 Agustus 2010

CONTROLLING ANGER

CONTROLLING ANGER
Aminah Permata Ummu Hanifah Burhanuddin, S.Psi


Anger is a negative experience so closely bound to pain and depression that it can sometimes be hard to know where one of these experiences ends and the others begin. Pain is never just about the body—it has emotional and physical components. The emotions play a huge role in the experience of pain, and pain is intimately associated with depression. It's long been known that the psychic pain of depression feeds anger. But, just as often, anger fuels depression.

A powerful emotion physiologically and emotionally, anger often feels good—but only for the moment. It can be the motivating force that moves people to action. But, there are good actions and bad actions, and it is important to distinguish between the two. Anger is usually anything but subtle. It has potent physiological effects. You feel it in your chest. You feel it in your head. You feel it coursing through your body. Nevertheless, anger can be insidious. Anger confers an immediate sense of purpose. At least in the short run, anger is a shortcut to motivation. So, we spend lots of energy on righting "wrongs," but anger also creates a cycle of rage and defeatism.

When you feel anger, it provides an impulse to pass the pain along to others. The boss chews you out, and you then snap at everyone in your path. Anger, however, can eventually lead you into self-pity, because you can't slough off the self-hurt.

Anger is classically a way of passing psychic pain on to others. It's a way of making others pay for your own emotional deficits. It is wise to change that tendency. Whether or not anger fuels depression, it isn't good for the enjoyment of life. There are a number of actions you can take to keep anger from eroding your life:
First, of course, is to identify anger and to acknowledge it. Anger is one of those emotions whose expression is sometimes subject to taboos, so people can grow up unable to recognize it. They feel its physical discomfort but don't know how to label it. Build a lexicon for your internal states. Feelings are fluid. You need to stop and capture them in a word, or else you lose them and don't know you have them.

View your anger as a signal. It is not something to be escaped. It is not something to be suppressed. It is something to be accepted as a sign that some deeper threat has occurred that needs your attention. 

Make yourself aware of the purpose your anger serves. Things that have a positive purpose seek betterment, growth, love, enhancement and fulfillment. Things that have a negative purpose are motivated by a sense of deficiency. Your boss yells at you, and you feel diminished. The anger you express towards others is driven by the blow you've just received. In order to identify your motivation, you need to look within. 

Tune into the inner dialogue you customarily have with yourself. If your anger is deficiency-motivated (driven by a desire to rectify a wrong you believe was done to you), work on acceptance. Give up your obsession about the wrong. Uproot mistaken beliefs that underlie your response. Very often anger is the result of beliefs that lead you to place unreasonable demands on circumstances, such as the belief that life must be fair. The belief that you are entitled to fairness results from the mistaken idea that you are special. 

Insisting that life be fair is not only irrational, it will cause you to collect injustices done to your noble self. Even if you are experiencing nothing more than your fair share of unfairness, such a belief can still fuel rage and lead to depression. The rage is totally inert, because you believe there is nothing you can do about the unfairness. Self-pity is another description of the same feelings of helplessness. Notice your own complaining. Listen for both overt and covert complaining. Overt complaining hassles others. It's really a manipulative strategy. Know when it's becoming a downer and a barrier to a strategy of effectiveness—like complaining about a fly in your soup. Covert complaining hassles you. It drags you down into passivity and inertia. Once you notice it, determine to give it up. Once you can accept that life sometimes is unfair, then you can pursue positive purpose. You can work constructively against injustice to rectify the unfairness you find, your anger into passion. Or, you can pursue fulfillment in spite of the unfairness that exists.

Selasa, 10 Agustus 2010

Puasa Perspektif Islam

Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan
Puasa Perspektif Islam 
Oleh: Sadid Al Muqim1
 
Puasa adalah rukun yang keempat bagi agama Islam. Barangsiapa yang menentangnya, atau mengingkarinya, atau sengaja tidak mau melakukannya tanpa ada udzur (alasan) yang dibenarkan oleh agama Islam atau karena sakit, maka benar-benar dia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan imannya berkurang.
Barangsiapa yang sengaja mengurangi imannya dan tidak mau bertaubat, maka benar-benar dia telah dengan sengaja membuat kemurkaan Tuhannya. Barangsiapa yang sengaja membuat kemarahan Tuhannya, maka benar-benar dia telah mengkufuri nikmatNya. Barangsiapa yang bertaubat dan memperbaiki kelakuannya, dan kembali kepada Tuhannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang, Maha Pengampun lagi Maha Dermawan.
Puasa itu, sebagaimana definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli fiqih, adalah menahan diri dari makan, minum, bersetubuh, dan dari setiap hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari, dengan niat yang murni hanya karena mematuhi perintah Allah swt.
Puasa itu adalah zakat (pembersih) bagi badan, berdasarkan sabda Nabi saw.:
Setiap sesuatu itu ada zakatnya, sedangkan zakat dari jasad adalah puasa.”
Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
Bahwasanya puasa itu adalah benteng”. Artinya penjagaan yang dapat menjaga manusia dari kejahatan dua musuhnya, yaitu Syaithan dan Nafsu.

Tujuan Puasa

Bukanlah tujuan dari puasa itu melarang makan dan minum yang tidak bermanfa'at bagi Allah, serta tidak memberi melarat kepada-Nya karena membolehkan makan dan minum. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi menghendaki dengan pencegahan makan dan minum, adalah agar orang yang berpuasa dapat merasakan panas perut sebab lapar dan sangat kehausan; dan agar seseorang muslim yang telah diberi nikmat oleh Allah itu dapat mengerti bahwa sesungguhnya tidak sah baginya untuk memenuhi perutnya dan berbuat boros dalam membelanjakan hartanya untuk makanan dan minumannya, sedang di dekatnya banyak keluarga dan kerabatnya serta saudara-saudaranya yang muslimmenderita kelaparan dan kehausan.
Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan
(Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami -Fiqh, 25 Oktober 2003-)
1. Puasa Adalah Perisai [Pelindung]
2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas
4. Orang Puasa Punya Dua
5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk2
6. Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
7. Puasa Sebagai Kafarat
8. Ar Rayyan Bagi Orang yang Puasa
Begitu banyak kajian puasa yang belum kita ketahui, bahkan dengan keutamaannya pula. Tidak cukup bagi kita untuk membahas dengan waktu yang terbatas, karena untuk puasa adalah urusan Allah SWT.
Mudah-mudahan kita menemui rahasia tersebut dalam waktu yang sedekat-dekatnya, karena tidak menutup kemungkinan pertemuan ini adalah yang terakhir.
Terakhir kalinya, “MINAL ‘AIDIN WAL FAIZIN”. Mohon maaf batin dan lahir.
1 Mahasiswa psikologi semester III Universitas Islam Negeri Malang
2 Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38

Minggu, 01 Agustus 2010

KEPRIBADIAN SEHAT MENURUT ABRAHAM MASLOW DAN ERIC FROMM

“KEPRIBADIAN SEHAT MENURUT ABRAHAM MASLOW DAN ERIC FROMM”
Dosen pembimbing :
Tristiadi ardi ardani M,Si
Oleh:
Ahmad Faiz Guzairi 
immarotin shofiah
M. yusuf latif
Abdul hamid mujadid
M.fahmi
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS PSIKOLOGI
2009

PENDAHULUAN
Dalam banyak teori yang ada dalam disiplin ilmu psikologi tidak pernah luput dari yang namanya contraversi dan semua itu adalah sebuah dinamika yang sangat patut di tiru karna selain memiliki kelebihan pada teori yang ada dan kontrversi tersebut melahirkan teori bari dan makin mengisi khzanah keilmuan dalam psikologi itu sendiri
pembahasan yang luas dalam ilmu psikologi tidak akan muat jika di bicarakan dalam makalah ini namun dengan mengambil salah satu keilmuan yang ada dari “belantara ilmu” psikologi maka aspek kesehatan mental dan bagaimana pandangan para tokoh tentang apa yang di namakan sehat secara mental secara keseluruhan maka kita mrngambil dua tokoh ternama yang mengkaji kesehatan mental dengan pandangan aliran Humanistik
Beberapa psikolog pada waktu yang sama tidak menyukai uraian aliran psikodinamika dan behaviouristik tentang kepribadian. Mereka merasa bahwa teori-teori ini mengabaikan kualitas yang menjadikan manusia itu berbeda dari binatang, seperti misalnya mengupayakan dengan keras untuk menguasai diri dan merealisasi diri. Di tahun 1950-an, beberapa psikolog aliran ini mendirikan sekolah psikologi yang disebut dengan humanisme.
Psikolog humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat kehidupan mereka. Mereka cenderung untuk berpegang pada prespektif optimistik tentang sifat alamiah manusia. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional untuk dalam mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka
Dua psikolog tersebut adalah , Abraham Maslow dan Eric Fromm yang sangat sangat terkenal dengan teori humanistik mereka.

Teori Kepribadian Sehat Menurut abraham Maslow
A.Individu sebagai Kesatuan Terpadu

Sebelum menguraikan teori tentang Hirarki Kebutuhan, Maslow dalam karya masyhurnya, Motivation and Personality, memaparkan terlebih dahulu sejumlah proposisi yang harus diperhatikan sebelum seseorang menyusun sebuah teori motivasi yang sehat. Maslow mengakui sendiri bahwa sejumlah proposisi sangat benar dalam arti dapat diterima oleh banyak kalangan. Sejumlah proposisi lain barangkali kurang dapat diterima dan dapat diperdebatkan. Hal ini mencerminkan kelegowoan Maslow untuk tidak begitu saja memutlakkan teorinya. Berhubung teori ini berkenaan dengan manusia yang dinamis multidimensional, lumrah kiranya bahwa pandangan tertentu kurang universal. Berikut ini sejumlah proposisi awal untuk memahami jalan pikiran Maslow.
Maslow pertama-tama menekankan bahwa individu merupakan kesatuan yang terpadu dan terorganisasi. Pernyataan ini hampir menjadi aksioma yang diterima oleh semua orang, yang kemudian sering dilupakan dan diabaikan tatkala seseorang melakukan penelitian. Penting sekali untuk selalu disadarkan kembali hal ini sebelum seseorang melakukan eksperimen atau menyusun suatu teori motivasi yang sehat

B.Hirarki Kebutuhan

Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
2. Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
3. Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
4. Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Maslow menyebut teori Hirarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler.

Identifikasi Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.
Tak teragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini.

Identifikasi Kebutuhan Rasa Aman

Segera setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.


Identifikasi Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.

Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan

Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.

Identifikasi Kebutuhan Aktualisasi Diri

Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.

Ciri-ciri Pribadi Aktualisasi Diri

Dari hasil penelitian yang merupakan proses analisis panjang, Maslow akhirnya mengidentifikasikan 19 karakteristik pribadi yang sampai pada tingkat aktualisasi diri.
1. Persepsi yang jelas tentang hidup (realitas), termasuk kemampuan untuk mendeteksi kepalsuan dan menilai karakter seseorang dengan baik. Berkat persepsi yang tajam, mereka lebih tegas dan jitu dalam memprediksikan peristiwa yang bakal terjadi. Mereka lebih mampu melihat dan menembus realitas-realitas yang tersembunyi dalam aneka peristiwa; lebih peka melihat hikmah dari pelbagai masalah.
2. Pribadi demikian melihat hidup apa adanya dan bukan berdasarkan keinginan mereka. Mereka lebih obyektif dan tidak emosional. Orang yang teraktualisasi diri tidak akan membiarkan harapan-harapan dan hasrat-hasrat pribadi menyesatkan pengamatan mereka. Sebaliknya kebanyakan orang lain mungkin hanya mau mendengarkan apa yang ingin mereka dengar dari orang lain sekalipun menyangkut hal yang tidak benar dan jujur.
3. Mempunyai spontanitas yang lebih tinggi. Mereka lebih peka terhadap inner life yang kaya dan tidak konvensional, serta memiliki kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang baru dan menghargai keindahan dalam hal-hal yang biasa. Biasanya mereka tidak merasa perlu menyembunyikan perasaan atau pikiran mereka, atau bertingkah laku yang dibuat-buat. Pribadi teraktualisai punya selera yang tinggi terhadap seni, musik, dan masalah-masalah politik dan filsafat.
4. Keterpusatan-pada-masalah. Mereka amat konsisten dan menaruh perhatian pada pertanyaan dan tantangan dari luar diri, memiliki misi atau tujuan yang jelas sehingga menghasilkan integritas, ketidakpicikan, dan tekun introspeksi. Mereka mempunyai komitmen yang jelas pada tugas yang harus mereka kerjakan dan mampu melupakan diri sendiri, dalam arti mampu membaktikan diri pada pekerjaan, tugas, atau panggilan yang mereka anggap penting.
5. Merindukan kesunyian. Selain mencari kesunyian yang menghasilkan ketenteraman batin, mereka juga dapat menikmatinya.
6. Mereka sangat mandiri dan otonom, namun sekaligus menyukai orang lain. Mereka punya keinginan yang sehat akan keleluasaan pribadi yang berbeda dari kebebasan neurotik (yang serba rahasia dan penuh rasa takut). Terkadang mereka terlihat sangat otonom, karena mereka menggantungkan diri sepenuhnya pada kapasitas sendiri. Inilah paradoksnya: mereka adalah orang yang paling individualis sekaligus sosial dalam masyarakat. Bila mereka menaati suatu aturan atau perintah, hal itu didasarkan pada pemahaman akan manfaat yang dapat dicapai dari pemenuhan aturan yang bersangkutan, dan bukan karena ikut-ikutan.
7. Ada kalanya mereka mengalami apa yang disebut “pengalaman puncak” (peak experience); saat-saat ketika mereka merasa berada dalam keadaan terbaik, saat diliputi perasaan khidmat, kebahagiaan dan kegembiraan yang mendalam atau ekstase. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi secara luar biasa. Kadang-kadang kemampuan ini membuat mereka seolah linglung. Tidak jarang mereka mengalami flow dalam kegiatan yang mereka lakukan.
8. Rasa kekeluargaan terhadap sesama manusia yang disertai dengan semangat yang tulus untuk membantu sesama.
9. Pribadi unggul ini lebih rendah hati dan menaruh hormat pada orang lain. Mereka yakin bahwa dalam banyak hal mereka harus belajar dari orang lain. Hal ini membuat mereka mampu untuk mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran. Keutamaan (virtue) ini lahir dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Sama seperti anak-anak, mereka mampu mendengarkan orang lain tanpa apriori atau penilaian sebelumnya. Maslow menyebut keunggulan ini sebagai “Being cognition” atau “B-cognition”; pengamatan yang pasif dan reseptif.
10. Mereka memiliki etika yang jelas tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Namun bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang lebih luhur.
11. Selera humor yang baik. Mereka tidak tertarik pada pelbagai lelucon yang melukai atau menyiratkan inferioritas yang membuat orang lain merasa dilecehkan. Mereka lebih menyukai humor yang filosofis, kosmik, atau yang nilai humornya terkandung dalam logika kata-kata. Mereka juga menonjol dalam hal toleransi terhadap kelemahan-kelemahan alamiah orang lain. Namun mereka sangat anti terhadap ketidakjujuran, penipuan, kebohongan, kekejaman, dan kemunafikan.
12. Kreatif dalam mengucapkan, melakukan, dan menyelesaikan sesuatu. Sifat ini dikaitkan dengan fleksibelitas, tidak takut membuat sesuatu yang di kemudian hari ternyata adalah kesalahan, dan keterbukaan. Seperti seorang anak yang lugu, mereka tidak takut berkreasi karena cemoohan orang lain. Mereka kreatif dan melihat aneka peristiwa secara segar tanpa prasangka. Menurut Maslow, hampir setiap anak mampu membuat lagu, sajak, tarian, lakon, atau permainan secara mendadak, tanpa direncanakan atau didahului oleh maksud tertentu sebelumnya. Demikian jugalah kira-kira kreativitas orang yang teraktualisasi diri.
13. Mereka memiliki penghargaan yang sehat atas diri sendiri bertolak dari pengenalan akan potensi diri mereka sendiri. Mereka bisa menerima pujian dan penghargaan tetapi tidak sampai tergantung pada penghargaan yang diberikan orang lain. Mereka tidak mendewakan kemasyhuran dan ketenaran kosong.
14. Ketidaksempurnaan. Mereka tentu juga mempunyai perasaan bersalah, cemas, bersalah, iri dan lain-lain. Namun perasaan itu tidak seperti yang dialami orang-orang yang neurotis. Mereka lebih dekat dengan cara pikir positif. Mereka tidak selalu tenang, kadang-kadang bisa meledakkan amarah pula; bosan dengan obrolan basa-basi , omong-kosong, dan hiruk-pikuk suasana pesta.
15. Mereka mempunyai “hirarki nilai” yang jelas. Mereka mampu melihat dan membedakan mana yang lebih penting dan harus diprioritaskan dalam situasi tertentu. Kadar konflik dirinya rendah. Mereka memiliki lebih banyak energi untuk tujuan-tujuan yang produktif daripada menghabiskan waktu untuk menyesali diri dan keadaan. Bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang lebih luhur, dan dengan tulus mengikutinya. Bagi orang-orang ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka.
16. Resistensi terhadap inkulturisasi. Mereka mampu melihat hal-hal di luar batasan kebudayaan dan zaman. Maslow menyebut mereka mempunyai apa yang disebut “kemerdekaan psikologis”. Hal itu tercermin dari keputusan-keputusan mereka yang terkadang “melawan arus” pendapat khalayak ramai. Mereka tidak segan menolak kebudayaan mereka jika memang tidak sejalan dengan akal sehat. Untuk hal-hal kecil seperti sopan-santun, bahasa, dan pakaian, makanan, dan sebagainya tidak dipermasalahkan. Tapi bila menyangkut hal-hal yang dirasa melawan prinsip-prinsip dasar, mereka dapat bersikap bebas mandiri dan bertindak di luar kebiasaan.
17. Mereka cenderung mencari persahabatan dengan orang yang memiliki karakter yang sama, seperti jujur, tulus hati, baik hati dan berani, namun tidak menghiraukan ciri-ciri superfisial seperti kelas sosial, agama, latar belakang ras, dan penampilan. Dalam hal ini mereka tidak merasa terganggu oleh perbedaan-perbedaan. Makin matang kepribadiannya, mereka makin tidak peduli dengan penampilan ayu, tubuh tegap, badan montok, dan sebagainya. Sebaliknya mereka amat menjunjung tinggi soal kecocokan, kebaikan, ketulusan, dan kejujuran.
18. Secara umum dapat dikatakan bahwa orang yang teraktualisasi diri cenderung membina hidup perkawinan yang kokoh, bahagia, dan berlangsung seumur hidup. Dalam pribadi yang sehat, perkawinan yang terbina memungkinkan kedua belah pihak saling meningkatkan kepercayaan dan harga diri, saling memberikan manfaat.
19. Mereka itu sangat filosofis dan sabar dalam menuntut atau menerima perubahan yang perlu secara tertib. Sementara kebanyakan orang dalam masyarakat cenderung bersikap sangat praktis atau sangat teoritis, orang yang teraktualisasi diri lebih condong bersikap praktis sekaligus teoritis tergantung kondisi yang bersangkutan. Mereka berusaha mencintai dunia apa adanya, dengan tetap membuka mata pada kekurangan yang ada seraya berupaya memperbaikinya.

Teori Kepribadian Sehat Menurut Eric Fromm
Teori eric fromm adalah teori yang menggunakan pendekatan sosial psikologis dimana pemusatan perhatianya pada penguraian cara-cara dimana struktur dan dinamika-dinamika masyarakat tertentu membentuk para anggotanya sehingga karakter para anggota tersebut sesuai dengan nilai yang ada pada masyarakat
Karena pada dasarnya manusia terpisah dari alam dan dari sesamanya maka cara mempersatukan adalah melalui belajar bagaimana mencitai atau bagaimana meemukan keamanan dengan menyelaraskan keinginannya dengan masyarakat yang otoriter , karna manusia adalah mahluk yang memiliki kesadran pikiran akal sehat daya akal, kesanggupan untuk mencintai , perhatian tanggung jawab integritas bisa di lukai mengalami kesedihan sehingga apbila dalam kaitanya manusia kurang dalam menanggapi hal yang di sebutkan tersebut maka manusia tersebut bisa di katakan tidak sehat secara mental menurut Eric fromm
Kebutuhan dasar manusia menurut eric fromm
Kebutuhan akan keberhubungan kebutuhan ini adalah secara spesifik aktif dan produktif mencintai orang lain
Kebutuhan akan trandensi mengungguli alam menjadi mahluk yang kreatif
Kebutuhan akan kemantapan ingin meiliki rasa bersahaja pada dunia dan orang lain supaya dapat beradaptasi di dunia
Kebutuhan akan idenditas brusaha untuk memiliki rasa idenditas personal dan keunikan guna menciptakan rasa yang terlepas dari dunia
Kebutuhan akan kerangka orientasi untukmencptakan rasa yang terlepas dari dunia
Hal kebutuhan tersebut adalah sifat alamiah dari manusia menurut fromm dan ini berubah saat evolusi namun manivestasi dari kebutuhan ini adalah akan memunculkan potensi-potensi batiniah di tentukan oleh aturan-aturan sosial di mana ia hidup dan kepribadian seseorang berkembang menurut kesempatan-kesempatan yang di berikan kepadanya oleh masyarakat tertentu
Sehingga kepribadian sehat menurut Eric from adalah penyesuaian diri seseorang dalam masyarakat merupakan kompromi antara kebutuhan-kebutuahn batin dan tuntutan dari luar dan seseorang menerapkan kerakter sosial untuk memenuhi harapan masyarakat kepribadian sehat juga adanya keinginan untuk mencintai dan di cintai dalam bukunya Art Of Love erik Fromm mengutarakan :
Dalam Civilization and Its Discontents (1930), seperti dikutip oleh Eric Fromm dalam Masyarakat yang Sehat (Terjemahan Thomas Bambang Murtianto, 1995) ia menulis:
"Manusia, setelah menemukan lewat pengalamannya bahwa cinta seksual (genital) memberinya kepuasan puncak, maka makna cinta seksual-genital menjadi prototipe bagi semua bentuk kebahagiaan manusia. Karenanya manusia terdorong mencari kebahagiaan yang ada kaitannya dengan hubungan seks, menempatkan erotisme genital sebagai titik pusat kehidupannya…. Dengan melakukan itu manusia menjadi sangat tergantung pada dunia luar, pada obyek cinta pilihannya, atau sungguh merasa kehilangan bila ditinggal mati atau ditinggal kabur."
Di mata Fromm, Freud memostulatkan, orang yang mencinta mengalami dirinya terlanda oleh dambaan dan rasa kekurangan, sehingga harga dirinya direndahkan. Sebaliknya, orang yang dicinta, karena dibalas cintanya dan memiliki obyek cinta, harga dirinya naik. Mencinta membuat Anda lemah. Yang membuat Anda bahagia ialah bila Anda dicinta.
Berbeda dengan Freud, konsep cinta menurut From dalam The Art of Loving (1956) menegaskan bahwa cinta bukanlah afeksi pasif, melainkan suatu tindakan aktif, yang bercirikan memberi. Cinta pertama-tama adalah urusan memberi, bukan menerima. Adalah salah menyamakan memberi dengan kehilangan. Oleh pribadi yang wataknya masih dalam fase orientasi reseptif, eksploitatif, dan nafsu menimbun, tindakan memberi dialami secara negatif seperti itu. Pribadi dengan orientasi pasar hanya siap memberi sebagai pertukaran untuk menerima. Memberi tanpa menerima berarti tertipu.
Bagi orang berwatak produktif, memberi mengungkapkan potensi tertinggi. Dalam memberi, ia justru mengalami kekuatannya, kekayaannya. Ini membuatnya gembira. Di bidang materi, memberi berarti kaya. Orang kaya bukanlah yang memiliki banyak harta, melainkan yang memberi banyak. (Alfon Taryadi dalam Ziarah ke Negeri Cinta, Kompas 5 Oktober 2001).