Senin, 15 Oktober 2012

Pensucian Jiwa Solusi Psikologi


by Psikologi UIN MALIKI Angkatan 2005

BAB I
PENDAHULUAN

Tentunya kita sudah sering mendengar hadist Rasul yang menyatakan, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintakan tanggung jawab atas kepemimpinannya itu." Jadi Allah akan meminta pertanggungjawabkan pada diri kita semua, karena setiap orang adalah pemimpin, minimal memimpin keluarga dan dirinya sendiri. Jika kita membandingkan dengan hasil survey pada buku di atas, milyunermilyuner (yang tentu juga merupakan seorang pemimpin, misalnya pemimpin perusahaan) yang sekuler (dan kemungkinan besar atheis) saja menempatkan
Sangat menarik ketika kita mengkaji tazkiyatun nafs yang terkait dengan kondisi saat ini yang terjadi dan menimpa pada bangsa Indonesia. Yang realita dalam berbangsa memiliki heterogenitas ras dan suku. Dan menariknya adalah bangsa Indonesia memiliki sekitar 80% komunitas muslim yang berada ditengah heterogenitas ras dan suku. Tapi menarik sekaligus aneh dan tabu terlihat jumlah perilaku menyimpang yang terjadi di Indonesia semakin hari, bulan dan tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Dimana angka criminal pencurian, perampokan, pemerkosaan, perzinahan, korupsi, dan lain sebagainya seolah-olah pada hari ini menjadi suatu hal yang biasa di dengar dan di lihat. Sehingga menjadi momok bangsa yang memiliki jumlah komunitas muslim terbesar didunia.
Padahal islam mengajarkan motivasi atau dorongan kepada perilaku baik, mulia dan bersahaja. Dengan konsep tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa manusia sebagai motiv dasar manusia yang akan dimotivasi dengan hidayah oleh Allah SWT dengan islam. Yang diantaranya tazkiyatun nafssebagai konseppenyucian diri yang memiliki arti penting sebagai berikut:
1. Allah bersumpah dengan sumpah yang banyak dan beruntun, bahwa keshalihan dan keberuntungan hamba itu, tergantung pada tazkiyatun nufus.
Allah berfirrnan: "Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (QS Asy Syams: 7 - 10). "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia sembahyang" (QS Al A'la: 14-15).
2. Tazkiyaun nufus merupakan salah satu tugas pokok para nabi. Karena itu, ketika Musa mendakwahi Fir'aun, ia berkata kepadanya, "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabbmu, agar supaya kamu takut kepadaNya?" (QS An Nazi'at: 18 -19). Dan Allah berfirman tentang Nabi Muhammad, "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang rnembacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS Al Jumu'ah: 2).
3. Tazkiyaun nufus menjadi syarat untuk meraih derajat yang tinggi dan kenikmatan abadi. Allah berfirman: "Dan barangsiapa datang kepada Rabbnya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh ternpat-tempat yang tinggi (mulia). (yaitu) surga 'Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)" (QS Thaha: 75 - 76).
Maksudnya, bahwa balasan bagi orang yang mensucikan dirinya dari kotoran, kekejian dan syirik, dan ia hanya menyembah kepada Allah semata, dan mengikuti semua ajaran yang dibawa oleh para rasul, dalam masalah kabar berita (aqidah) maupun dalam hal perintah dan larangan (syari'at).
4. Tazkiyaun nufus merupakan salah satu hajat utama yang diminta Rasulullah.
Dalam do'anya, Rasululah mengatakan: "Ya Allah berikanlah ketaqwaan kepada diriku ini dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaikbaik Dzat yang mensucikannya, Engkau adalah Penolong dan Tuannya" (HR Muslim. 2722).



BAB II
KAJIAN TEORI

Makna Tazkiyatun Nafs
Tazkiyah
Menurut bahasa berarti suci, berkembang dan bertambah. Sedangkan yang dimaksud disini ialah memperbaiki jiwa dan mensucikannya melalui jalan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, mengerjakan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang dilarang.
Nabi telah menjelaskan makna tazkiyan nafs dengan sabdanya, meyakini bahwa Allah selalu bersamanya dimanapun ia berada. Hadits tersebut lengkapnya sebagai berikut; Tiga perkara, barangsiapa mengerjakannya, maka ia pasti merasakan lezatnya iman. Yaitu (pertama), seseorang yang menyembah Allah semata, bahwa tidak ada sesembahan yang hak, kecuali hanya Dia. (Kedua), ia membayarkan zakat mal-nya setiap tahun dengan jiwa yang rela, ia tidak membayarkan (hewan) yang sudah tua, tidak yang kurus, dan tidak pula yang sakit, tetapi (ia membayamya) dari pertengahan harta kalian, karena Allah tidak meminta kepadamu harta yang terbaik dan tidak memerintahkan dari harta yang jelek, dan, (Ketiga), ia mensucikan dirinya. Maka seseorang bertanya, "Apakah tazkiyatun nufus itu?" Beliau menjawab, "la mengetahui (meyakini), bahwa Allah selalu bersamanya dimanapun ia berada."
Ternyata Nabi menjadikan tazkiyatun nufus sebagai salah satu dari tiga perkara yang bisa menghadirkan rasa lezatnya iman. Beliau menafsirinya dengan salah satu martabat ihsan -martabat tertinggi dalam agama ini- yaitu menyembah Allah berdasarkan keyakinan, bahwa Allah selalu melihatnya dan mengetahui rahasia dan kenyataaanya, mengetahui dhahir dan batinnya. Tldak ada satupun dari perkaranya yang tersembunyi dari Allah.
Setelah mengetahui makna dan betapa urgent-nya masalah tazkiyatun nafs, simak terus ulasan berikutnya yaitu pemahaman yang benar dalam penyucian jiwa dan cara mencapainya menurut pemahaman tersebut. Ibadah-ibadah kepada Allah apa saja yang mengantar pelakunya kepada tazkiyatun nufus?

Manhaj Yang Shahih Dalam Tazkiyatun Nafs
Perlu diingat, bahwa tazkiyatun nufus hanya dapat diraih melalul jalan syari'at, jalan yang diajarkan oleh para rasul. Ibnul Qayyim mengatakan: "Tazkiyatun nufus itu lebih sulit dan lebih rumit dibandingkan dengan perawatan dan pengobatan badan. Barangsiapa berusaha mensucikan dirinya dengan jalan riyadhah, mujahadah dan khalwat yang tidak diterangkan oleh Rasul, maka perumpamaannya bagaikan orang sakit yang ingin mengobati dirinya dengan pendapatnya sendiri."
Bagaimana bisa pendapatnya akan sesuai dengan ilmu seorang dokter? Para rasul adalah dokter hati dan jiwa. Maka tidak ada jalan untuk kesucian jiwa dan keshalihan hati, kecuali dengan melalui jalurnya, lewat bimbingannya dengan penuh ketundukan dan kepasrahan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim juga mengatakan: "Adapun badan yang bersih, adalah badan yang suci karena taat kepada Allah. Dagingnya tumbuh dari makanan halal dan minuman halal. Manakala badan terbebas dari unsur haram, dan kotoran-kotoran yang dilarang oleh akal, agama dan kehormatan, dan jiwa suci dari ikatan-ikatan dunia. maka bersihlah tanah hati, siap menerima benih ilmu dan ma'rifat.
Jika setelah itu disirami dengan air riyadhah syar'iyyah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad, yaitu riyadhah yang tidak keluar dari ilmu, tidak jauh dari kewajiban dan tidak menelantarkan sunnah, maka hati (pasti) menumbuhkan tanaman yang indah menawan, dari jenis ilmu, hikmah dan faidah.
Wasilah Tazkiyatun Nufus
Tazkiyatun nufus sesuai manhaj nabawi, bisa dicapai dengan berbagai macam ibadah kepada Allah. Yang terpenting diantaranya ialah:
1. Tauhid
Merealisasikan tauhid merupakan jalan terbesar dan terpenting untuk tazkiyatun nufus. Allah berfirman, "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti karnu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabb kamu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya, dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat" (QS Fushshilat: 6 - 7).
Kebanyakan mufassir (para ahli tafsir) dari kalangan salaf maupun orang-orang sesudahnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata zakat dalam ayat di atas ialah tauhid: syahadat "La Ilaaha Illallah" dan Iman; yang dengannya, hati menjadi bersih. Karena tauhid itu menolak adanya Tuhan dan sesembahan selain Allah dari hati. Yang demikan itu merupakan pangkal kesuciannya. Adapun penetapan uluhiyyah Allah dalam hati, ialah pangkal hidup dan berkembangnya hati.
Allah dalam ayat di atas menyebut tauhid dengan istilah zakat sehagaimana Allah menyebut syirik dengan najis. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka rnendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Iagi Maha Bijaksana." (QS At Taubah:28).
Ibnul Qayyim mengatakan: "Tauhid adalah sesuatu yang paling lembut. halus, bersih, dan jernih. Maka, kotoran yang sekecil apapun dapat membuatnya keruh dan mempengaruhinya. la bagaikan kain putih yang sangat sensitif terhadap kotoran sekecil apapun. la Juga bagaikan cermin yang sangat bersih, benda yang paling kecilpun dapat mpengaruhinya..."
Adapaun syirik, maka ia adalah najis yang paling najis, paling kotor dan paling jijik.
Tauhid adalah zakat. la menumbuhkembangkan amal-amal shalih dan memberkatinya. Ketaatan yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah, pahalanya sangat besar dan digandakan.
Adapun syirik, maka ia adalah penghapus semua amal ibadah dan mengakibatkan kekekalan di dalam neraka jahannam. Lagi pula syirik menyebabkan kehinaan dan kenistaan, sebagaimana firman Allah: "Janganlah kamu adakan tuhan yang lain disamping Allah agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)." (QS AI Isra: 22).
Artinya ia tercela, tidak ada yang memuji. Dan ia terhina, tidak ada yang menolong.
2. Shalat
Rasulullah bersabda: "Beritahukanlah kepadaku. seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang kamu, lalu ia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apa pendapatmu, apakah ia masih menyisakan kotoran padanya?" Mereka menjawab, "Dia tentu tidak menyisakan sedikitpun dari kotorannya.' Beliau bersabda, "Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu. Dengannya Allah menghapus dosa-dosa."
Ibn Al Arabi mengatakan, "Persamaan dari perumpamaan tadi ialah sebagaimana ia ternodai dengan kotoran-kotoran yang bersifat materi di pakaian dan badannya. Dan hal itu dapat disucikan oleh air yang melimpah. Demikian Juga shaiat lima waktu, ia membersihkan pelakunya dari noda-noda dosa hingga tidak tersisa sedikitpun.
3. Bersedekah
Allah berfirman: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka. dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS At Taubah:103).
Ibn Taimiyah berkata: "Sesungguhnya zakat itu mengharuskan adanya thaharah. Firman Allah "Khudz min amwaalihim shadaqatan tuthahhiruhum" adalah membersihkan dari keburukan-keburukan, sedangkan "wa tuzakkiihim" adalah menyucikan dengan amal-amal kebajikan.
Firman Allah "Khudz min amwaalihim shadaqatan" menunjukkan, bahwa amal kebajikan ltu bisa men-tathhir (membersihkan) dan men-tazkiyah (menyucikan) jiwa dari dosa-dosa yang telah lalu, karena firman tersebut diucapkan setelah flrmanNya "Dan ada pula orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka". Jadi taubat dan amal shalih merupakan tangga untuk menggapai tathhir dan tazkiyah."
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya sedekah itu adalah kotoran-kotoran mnnusia yang mereka sucikan dari diri mereka,"
Ketika Al Abbas meminta kepada Rasuiullah agar la ditugaskan untuk mengurusi sedekah (zakat), beliau bersabda, "Aku tidak akan menugaskan anda untuk mengurusi cucian dosa manusia."
4. Meninggalkan semua yang diharamkan.
Dalam masalah ini, Ibn Taimiyah berkata, "Jiwa dan amal tidak bisa suci, hingga dihindarkan dari hal-hal yang bisa menentangnya. Dan seseorang itu tidak berslh, kecuail dengan meninggalkan yang buruk; karena ia mengotori jiwa dan menggelapkannya.
Ibn Qutaibah berkata, Firman Allah ''Wa qad khaaba man dassaahaa'', artinya orang yang mengotori hatinya dengan kefasikan-kefasikan maksiat, orang yang fajir itu telah menghancurkan jiwanya, dan menenggelamkannya. Sedangkan pelaku perbuatan ma'ruf, ia telah mengangkat dan meninggikan pwanya," (Majmu' Fatawa 10/629.10/188).
Ibn Taimiyah berkata, "Sesungguhnya, zakatnya hati tergantung pada kebersihannya, sebagaimana zakatnya badan tergantung pada pembersihannya dari unsur-unsur dan hal-hal yang jelek dan rusak.
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia AIlah dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mendengar iagi Maha Mengetahui (QS An Nur: 21).
Allah menyebutkan hal itu setelah penyebutan haramnya zina. menuduh zina dan menikahi pezina. Demikian ini membuktikan, bahwa cara memberslhkan jiwa ialah dengan meninggalkan semua larangan tadi. 16
Allah juga memerintahkan agar menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Semua itu demi tazkiyatun nufus.
Allah berfirman, Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya: yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS An Nur:30).

Meninggalkan perkara-perkara keji dan kotor yang nampak maupun yang tersembunyi adalah bersih dan suci; sebagaimana syari'at menyebut dosa itu keji; seperti zina dan homo sebagai perkara yang najis, kotor dan jorok.
Allah berfirman, "Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (adzab yang teiah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik." (QS AI Anbiya': 74).
Kaum homo berkata: Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih. (QS An Naml: 56).
Jadi, meskipun kaum homo itu melakukan syirik dan kufur, akan tetapi mereka tetap mengakui bahwa diri mereka kotor dan najis. Adapun Nabi Luth dan keluarganya adalah orang-orang yang suci, karena membersihkan diri dari perbuatan keji.
Allah juga berfirman, "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (Surga)." (QS Nur: 26)
Dalam ayat ini, Allah menyebut pezina laki-laki dan permpuan, atau para pelacur dan para PSK (pekerja seks komersial) disebut dengan gelar khabitsatun dan khabitsat (orang yang kotor, hina dan rendah).
Rasulullah bersabda, "Barangsiapa melakukan sesuatu dari perkara-perkara kotor ini, maka sembunyikanlah dengan perlindungan Allah. Karena, barangsiapa memperlihatkan lembaran (dosa) nya, maka kami pasti akan menegakkan hukum Allah atasnya. 17
Sebagai penutup dari tema tazkiyatun nufus ini, akan dijelaskan cara mensucikan jiwa yang sangat ampuh dan cukup dikenal, yaitu muhasabatun nufus (introspeksi diri). Bagaimana pembahasan, pembagiannya serta mutiara-mutiara hikmah dari para ulama' mengenai muhasabah?

Muhasabatun nufus (Introspeksi diri)
Kesucian dan kebersihan jiwa tergantung pada muhasabahnya. Al Hasan Al Bashri berkata,
Sesungguhnya, orang mukmin itu -demi Allah- kamu tidak menyaksikannya, kecuali sedang mengawasi dirinya sendiri. Apa yang saya maksudkan dengan ucapan ini? Apa yang saya inginkan dengan makan ini? Apa yang saya inginkan dengan masuk ke sini atau keluar dari sini? Apa urusan saya dengan ini? Demi Allah, saya tidak kembali kesini? atau sejenis ucapan ini..." Maka dengan muhasabah seseorang itu bisa mengetahui aib dan kekurangannya, hingga ia mampu berusaha dalam memperbaikinya. 18
Muhasabah ada dua macam
* Muhasabah sebelum beramal.
Yaitu berpikir dan merenung ketika ada kehendak dan semangat; dan tidak segera beramal, kecuali setelah menjadi jelas keutamaannya dibanding dengan meninggalkannya.
* Muhasabah setelah selesai beramal.
Ini meliputi,
- Muhasabah mengenai ketaatan yang belum dikerjakan secara sempurna.
- Muhasabah mengenai perbuatan yang sebaiknya ditinggalkan (tidak dikerjakan)
- Muhasabah mengenai perkara mubah / biasa, mengapa mengerjakannya? Apakah hal itu dimaksudkan untuk Allah, kehidupan akhirat, ataukah dunia?

Sesungguhnya pemerhati masalah ini melihat adanya kelalaian dan banyak kekurangan pada diri kita dalam muhasabah an nufus. Bahkan banyak di antara kita yang sibuk dengan aib orang lain; suatu perbuatan yang melahirkan sikap 'ujub (takjub dengan diri sendiri), kibr (merasa besar sendiri, sombong), dan ghurur (tertipu dengan diri sendiri).
Sebagian salaf berkata, Engkau tidak akan menjadi faqih (orang yang mengerti) sebenar-benarnya sebelum kamu membenci (aib yang ada pada) manusia karena Allah, kemudian kamu merefleksikan pada dirimu sendiri, hingga kamu lebih membencinya.
Karena kelalaian kita dalam muhasabah an nufus ini sangat nampak, maka perlu kami sebutkan nukilan perkataan para ulama berikut ini.
Umar Al Faruq berkata, Cukuplah dosa seseorang, apabila aib yang ada pada seseorang menjadi jelas baginya. Sementara ia tidak tahu, bahwa aib itu ada pada dirinya sendiri, dan ia membenci orang-orang karena itu.
Hasan Bashri (110H) berkata, Wahai putra Adam, kamu tidak akan menggapai hakikat iman, sehingga kamu tidak mencela orang lain dengan aib yang juga ada pada dirimu, hingga kamu mulai mengobati aib tersebut dari dirimu. Jika kamu sudah melakukan hal itu dalam dirimu, maka kamu tidaklah memperbaiki suatu aib, melainkan kamu mendapatkan aib lain yang belum kamu perbaiki. Jika kamu telah melakukan hal itu, maka kesibukanmu adalah mengurusi dirimu sendiri. Sesungguhnya hamba yang paling dicintai oleh Allah adalah yang seperti itu.
Rabi' Ibn Khutsaim (wafat sebelum tahun 65H) ditanya, "Mengapa kamu tidak menyebut manusia?" Ia menjawab, "Saya belum rela dengan seluruh yang ada pada diri saya, sehingga saya tidak punya waktu luang untuk menggunjing orang lain. Sesungguhnya manusia itu takut kepada Allah tentang dosa-dosa orang lain, sedangkan mereka tidak merasa takut atas dosa-dosanya sendiri.
Maimun Ibn Mihran (wafat 117H) berkata, Seseorang tidak masuk golongan muttaqin, hingga ia mengevaluasi dirinya sendiri lebih detail daripada mengevaluasi mitra (sekutu) nya (dalam usaha), sehingga ia tahu dari mana makanannya, dari mana pakaiannya, dari mana minumannya, apakah dari halal ataukah haram.
Aun Ibn Abdillah (wafat 117H) berkata, Saya kira, setiap orang yang sibuk dengan aib orang lain ialah dikarenakan ghaflah, lalai dari dirinya sendiri.
Bakr Ibn Abdillah (wafat 108H) Al Muzani berkata, Jika kamu melihat seseorang sibuk mengurusi aib orang lain dan merupakan aibnya sendiri, maka pastikan bahwa ia telah tertipu.
Sariy As Saqathi (253H) berkata, "Termasuk pertanda istidraj (diulur-ulur adzab untuknya), yaitu buta dari aibnya sendiri."
Abu Utsman Al Hiri (wafat 298H) berkata, Rasa takut dari Allah akan mengantarkanmu kepadaNya, sedangkan 'ujub akan memutuskanmu kepadaNya, sedangkan menganggap manusia rendah dalam dirimu, merupakan penyakit yang tidak terobati.
Ahmad Ibnu Ashim Al Anthaki (wafat 230-an) berkata, "Sikap shidq (jujur) yang paling bermanfaat, yaitu pengakuan kepada Allah tentang aib-aibmu." Kemudian dia berkata, "Tutuplah jalan 'ujub dengan mengenal dirimu."


BAB III
ANALISIS KRITIS
Pengaruh Tazkiyatun Nafs Terhadap Konstruk Nilai

Didalam hidupnya manusia dinilai atau akan melakukan sesuatu karena nilai. Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Misalnya, seorang yang telah melakukan pembunuhan kemudian ia melakukan pengakuan dosa dihadapan pendeta dan dalam pengakuannya itu ia benar-benar menggambarkan suatu kesalahan atau dosa. Hal ini karena dilatarbelakangi nilai ketuhanan atas nilai baik dan buruk menurut agama, sehingga membunuh itu dosa hukumnya dan yang melakukannya itu salah.

Berbeda dengan orang yang menganggap hal itu suatu pembelaan yang harus ditempuh, maka pembunuhan bukanlah merupakan suatu kesalahan, akan tetapi merupakan kebanggaan yang harus dijunjung seperti budaya 'carok' pada etnis Madura (carok merupakan budaya Madura masa silam, yang menjunjung tinggi harga diri keluarga jika kehormatannya diganggu, maka carok adalah penyelesaian yang terhormat)
Di lain pihak, semakin seseorang bersikap setia pada tuntutan-tuntutan moral, semakin ia membuka diri terhadap dunia nilai-nilai dan realitas rohani. Boleh dikatakan bahwa ia menjadi sekodrat dengan mereka. Ia mencintai mereka, dan dengan demikian dapat melihat arti suatu jalan menuju kepada realitas rohani dan nilai yang terutama, yaitu Tuhan. Sehingga ia mengerti arti baik dan buruk atau salah dan benar dalam berperilaku.

Sebelum sesuatu itu ada (sebagai landasan etis) maka nilai baik dan buruk atau dosa dan pahala itu tidak ada, sehingga setiap perbuatan memerlukan sandaran nilai untuk dapat dipertanggung jawabkan atas nilai perbuatan seseorang itu.  Dalam kaidah usul fikihnya kullu syain ibahah illa ma dalla daliilu `ala khilaafihi setiap sesuatu itu adalah kebolehan sehingga sampai ada dalil yang menentukan nilai (haram atau halal).
Jika setiap perbuatan tidak memiliki landasan nilai, maka akan sulit kita menentukan bagaimana kita mengatakan perbuatan itu baik atau buruk, walaupun menurut pandangan etika umum menyatakan perbuatan itu buruk, misalnya orang primitif memiliki kebiasaan tidak memakai baju bahkan hanya memakai koteka (terbuat dari kulit labu untuk menutup kemaluan), dia tidak akan mengerti kalau hal itu dikatakan telah bersalah karena tidak menutup auratnyaナmereka justru bingung dengan pernyataan kita ..mengapa hal ini salah ? baginya tidak masuk akal ナmengapa orang-orang modern itu melarangnya memakai koteka ? kalau hal itu dikatakan tidak etis ナetis menurut siapa ?

Sebuah nilai muncul dari kesepakan dalam sebuah kaum, ナkaum primitif memiliki kesepakatan nilai yang menjadi landasan etis untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk ナ Dan dalam suatu masyarakat modern setiap tindakannya akan mengacu kedalam perudang-undangan yang telah disepakati bersama dalam sebuah majelis musyawarah yang diperjuangan wakil-wakilnya dalam sebuah parlemen, sehingga menghasilkan sebuah tata hukum positip untuk menilai dan menindak sesuatu boleh atau tidak boleh.

Narkotika, sebelum disepakati sebagai barang haram merupakan benda yang digemari para bangsawan dan para kafilah, artinya barang ini tidak memiliki nilai apa-apa secara hukum (kebolehan) ketika tidak diketahui manfaat dan mudharatnya, sehingga bagi pemakainya merupakan kebolehan (halal) dan tindakannya tidak dikatakan buruk (bersalah). Namun setelah kita sepakat bahwa narkotika itu membahayakan dan menurut hukum positip itu dilarang maka perbuatan si pemakai itu suatu keburukan, bahkan dikatakan sebagai kejahatan yang harus diperangi ナ.
Jadi kesimpulannya adalah setiap perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk jika perbuatan itu di landasi nilai etis terhadap sesuatu ナBagi orang tidak memiliki landasan dalam tindakannya maka orang tersebut bisa dikategorikan dalam tiga gologan yang disebut dalam sebuah hadist, yaitu: Anak-anak yang belum sampai akil baligh Orang tidur sampai bangun, Orang gila sampai ia sadar, Mereka ini tidak mendapatkan sanksi hukum positif dalam setiap tindakannya, karena perbuat-annya tidak memiliki tindakan dasar nilai etis
Ada beberapa landasan populer yang di gunakan dalam masyarakat dunia antara lain : Etika ketuhanan ( agama. Islam, kristen, hindu, budha, katolik,dll), Etika budaya ( etika jawa, sunda, melayu, adat dll), Filsafat (Yunani, Tao, komunis, pancasila, dll), Budaya primitip dll

Didalam Islam, pengertian nilai yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik dan buruk tidak dilalui oleh pengalaman, akan tetapi telah ada sejak pertama kali ruh ditiupkan.

"Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) keburukan dan kebaikan" ( QS. 91:7-8)

Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan.
Imam Alghazaly menamakan pengertian apriori sebagai pengertian awwali. Dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya:
"Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan , melainkan dengan nur (cahaya) yang dipancarkan Allah Swt, kedalam bathin dari ilmu ma'rifat. "

Disini, Alghazaly mengembalikannya kedasar pengertian awwali yaitu pengertian ilahiyah, sedang Plato menyebutnya "idea". Ia mengungkapkan bahwa "idea" hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara kontemplasi atau bagi seniman biasa disebut mencari inspirasi. Jelasnya "idea" bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan ide

Dan idea-idea ini bersifat murni, tidak mengandung nilai baik atau buruk dan bersifat universal, sebelum turun sampai kepada kesepakatan hukum positif. Misalnya seorang yang mendapatkan ide membuat ilustrasi mengenai lengkuk tubuh manusia adalah murni sebuah ide, ... tidak ada nilai baik ataupun buruk dalam ide tersebut, kecuali setelah ada kesepakatan bahwa gambar itu mengandung pengaruh yang sangat buruk dalam masyarakat tertentu, akan tetapi sebaliknya gambar itu sekaligus merupakan sesuatu yang baik jika di kaitkan dengan kajian ilmu kedokteran dalam mengungkapkan fakta dalam anatomi tersebut.

Untuk itu agama salah satu jalan menentukan batasan nilai sehingga manusia menjadi mudah dalam menentukan sikap dalam hukum dan tanggung jawab pribadi dan hak orang lain dalam setiap tindakannya. Sebab jika tidak ada asas nilai di khawatirkan segalanya akan menjadi tidak jelas dan menjadikan manusia bertindak semaunya tanpa ada tindakan nilai. Jika hal ini terjadi maka manusia akan bersikap brutal dan berlaku hukum rimba atau menjadi kaum penjajah dan perbudakan.
Hal ini pernah terjadi pada masa penjajahan diseluruh dunia, dimana kaum penjajah menganggap manusia tidak lagi memiliki nilai apa-apa sehingga mereka menjadikan kaum terjajajah sebagai budak yang diperjual belikan dipasar, seperti binatang !!

Demikian pula tanah-tanah yang terhampar dianggap tidak bertuan, dimana saja mereka berpijak disanalah miliknya.

Dalam perasaan berdosa, yang telah dipaparkan muncul dikarenakan nilai-nilai yang sangat mendasar dalam dirimanusia. Dalam kaitannyan dengan taz kiyatun nafs maka nilai-nilai yang menjadi dasar perasaan berdosa ini haruslah memiliki jiwa yang suci. Yang tentunya suci dengan wasilah yang ada seperti;


1. Tauhid
Merealisasikan tauhid merupakan jalan terbesar dan terpenting untuk tazkiyatun nufus. Allah berfirman, "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti karnu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabb kamu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya, dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat" (QS Fushshilat: 6 - 7).
2. Shalat
Rasulullah bersabda: "Beritahukanlah kepadaku. seandainya ada sungai di depan pintu salah seorang kamu, lalu ia mandi di dalamnya setiap hari lima kali, apa pendapatmu, apakah ia masih menyisakan kotoran padanya?" Mereka menjawab, "Dia tentu tidak menyisakan sedikitpun dari kotorannya.' Beliau bersabda, "Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu. Dengannya Allah menghapus dosa-dosa."
Ibn Al Arabi mengatakan, "Persamaan dari perumpamaan tadi ialah sebagaimana ia ternodai dengan kotoran-kotoran yang bersifat materi di pakaian dan badannya. Dan hal itu dapat disucikan oleh air yang melimpah. Demikian Juga shaiat lima waktu, ia membersihkan pelakunya dari noda-noda dosa hingga tidak tersisa sedikitpun.
3. Bersedekah
Allah berfirman: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka. dan berdo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS At Taubah:103).
     4. Meninggalkan semua yang diharamkan.
Dalam masalah ini, Ibn Taimiyah berkata, "Jiwa dan amal tidak bisa suci, hingga dihindarkan dari hal-hal yang bisa menentangnya. Dan seseorang itu tidak berslh, kecuail dengan meninggalkan yang buruk; karena ia mengotori jiwa dan menggelapkannya.

BAB IV
KESIMPULAN

Tindakan nilai merupakan hal asasi yang terpenting untuk menentukan sesuatu baik atau buruk. Kalau hal ini sudah jelas maka kita akan bisa berkata perbuatan saya salah atau perbuatan saya baik, maka berdosalah saya jika demikian dan berpahalalah tindakan saya jika demikian. Islam menekankan setiap tindakan harus dilandasi niat lillahita'ala (karena Allah ta'ala) untuk membedakan tindakan etis selain Allah, sehingga jika tidak dilandasi niat karena Allah, maka perbuatannya tidak diterima oleh Allah Swt.
Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya (HR Bukhari Muslim)

Suatu riwayat, ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah niat.
Maka barang siapa hijrahnya didasari niat karena Allah dan Rasulullah maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah.Dan barang siapa hijrahnya didasari niat karena kekayaan dunia yang akan di dapat atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti (tertolak) pada apa yang ia hijrah kepadanya ( Al hadist shahih)

Maka sesungguhnya dengan melakukan tazkiyatun nafs, melalui tahapan-tahapan dan wasilah-wasilahnyalah kemudian memunculkan nilai-niai yang suci pula, sehingga menimbulkan perilaku-perilaku yang baik dan jauh daripada perilaku jahat yang dikarenakan jiwa ini kotor. Sebagai sebuah implikasi rusaknya wasilah-wasilahpenyucian jiwa ini taupun yang kita lalaikan.




REFERENSI
Majalah As-Sunnah 09/Vii/1421h Hal 15 - 20

Ahmad Arqom, SPd. Tahap-Tahap Tazkiyatun Nafs

al-ikhwan.net, Tazkiyatun Nafs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar