Kamis, 20 Januari 2011

Aplikasi Psikologi Sosial dalam Hukum dan Perundangan

Aplikasi Psikologi Sosial
dalam Hukum dan Perundangan

Untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Psikologi Sosial II

Dosen pembimbing : Fathul Lubabin Nuqul, M.Si

 Oleh 
Iftitah Intikhobah
(05410041)
Dyah Ika Rahmah
(05410072)
Hilda Nuria
(05410067)
Sadid Al Muqim
(05410065)



FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
April, 2007

PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim. Ribuan puji kami sembahkan kepada Allah SWT. yang menciptakan akal untuk berpikir dan hati untuk merasa. Lantunan sholawat kami berikan kepada junjungan nabi agung Muhammad SAW. revolusionis dunia dengan ilmu pengetahuan.
Teori memang tidak akan berguna tanpa adanya aplikasi nyata, atau setidaknya menfaat secara praktis. Manusia sebagai pemegang aktif peran ini dituntut untuk menjalankan praktek ini dalam kenyataan, baik dalam segi pengkondisian standar normal sosial, pemecahan masalah, atau menjalankan etika dan norma yang ada. Karena diyakini atau tidak, problematika dalam kehidupan tidak akan pernah ada habisnya, oleh ulah manusia.
Peran dan figur seorang pemimpin, juga sangat berpengaruh dengan terciptanya kesejahteraan rakyat, karena dengan segala kebijakan yang diciptakan akan menjadikan situasi menjadi normal dan terkendali, dengan satu komando, yaitu seorang pemimpin.
Menyangkut kesejahteraan, peraturan yang dibuat akan menjadi hukum, atau setidaknya norma tertulis yang harus dipatuhi segala lini masyarakat, termasuk juga pemimpin tersebut. Namun hal mengecewakan apabila seorang pemimpin sudah tidak sejalur dengan kebutuhan rakyat, bahkan bila pemimpin hanya menggunakan jabatan sebagai penghasilan tetap.
Hal ini menjadi menarik untuk dikaji, walaupun dari salah satu sisi aspek aplikasi sosial, namun kami berharap hal ini akan dapat diambil manfaat yang lebih. Makalah ini kami buat sekaligus tugas yang dibebahkan pada perkuliahan Psikologi Sosial II sebagai tugas kelompok.
Dan akhirnya kami persembahkan tugas ini pada para pembaca untuk menjadi pertimbangan dalam mengaplikasikan teori-teori sosial. Selamat menikamti.

Penulis.

BAB I
FENOMENA
Pedoman Pelaksanaan PP 37 Dikeluarkan
(Oleh Agustinus) JAKARTA--MIOL: Pemerintah akhirnya mengeluarkan pedoman pelaksanaan PP 37 tahun 2006 untuk mengatur besarnya gaji anggota DPRD, yang dinilai meresahkan public. Sebab selama itu pula uang rakyat sah untuk dijarah anggota DPRD. Padahal anggota DPRD dituntut mementingkan kepentingan rakyat menyusul maraknya protes di kalangan masyarakat yang menilai kenaikan gaji anggota dewan sesuai PP tersebut tidak realistis.
"Ini budaya buruk pemerintah dan uang negara legal untuk dijarah DPRD," ujar Hermawanto. Ia menilai gembar-gembor revisi PP 37 yang dicuatkan pemerintah hanya memancing pro dan kontra di masyarakat dan sama sekali tidak berguna. "Ini malah memunculkan penolakan yang lebih besar terhadap PP 37. Jadi cabut saja," tegasnya.
Keberadaan PP 37 yang kemudian direvisi menimbulkan kejutan di tengah masyarakat yang sebenarnya belum selesai dari kejutan sebelumnya yaitu diskusi mengenai usulan kenaikan gaji anggota DPR. Pada intinya, di tengah era keterbukaan saat ini, masyarakat terkaget-kaget dengan usulan kenaikan gaji para anggota dewan yang mungkin dianggap jauh lebih besar dibandingkan di masa lalu.  Paradigma bahwa gaji aparat pemerintah dan anggota parlemen yang relatif rendah masih melekat kuat di kebanyakan pikiran anggota masyarakat, sehingga  begitu ada usulan untuk menaikkannya secara signifikan, pasti muncul reaksi yang sifatnya mempertanyakan justifikasi kenaikan tersebut.
YOGYAKARTA--MIOL: Demonstrasi menolak pemberlakuan PP 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD merebak di berbagai daerah, Senin (8/1). PP itu memberi kesempatan bagi anggota DPRD untuk menaikkan pendapatan mereka, dengan rapel satu tahun.
Di Yogyakarta, unjuk rasa dilakukan ratusan mahasiswa dan warga di depan gedung DPRD setempat. Mereka mendesak agar DPRD membatalkan Perda No 6/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD DI Yogyakarta. Perda itu mengacu pada PP 37/2006.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam jumpa pers yang didampingi Mendagri M. Ma'ruf di gedung Depdagri, Rabu, mengungkapkan pemerintah membuat pedoman pelaksanaan pembayaran gaji dewan dengan membentuk kluster atau kelompok kemampuan keuangan daerah sebagai dasar menentukan besaran gaji bagi anggota dewan.
"Peraturan Pelaksana PP 37 tahun 2006 terutama untuk mencegah hal-hal yang selama ini disampaikan oleh LSM, akademisi, masyarakat. Jadi dalam hal ini kita membuat keseimbangan di satu sisi DPRD harus menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang dengan memberikan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional kepada DPRD tapi tidak menyalahgunakannya untuk melayani diri sendiri," kata Sri Mulyani.
Seperti diketahui pemerintah mengeluarkan PP 37 tahun 2006 sebagai perubahan atas PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
Dalam PP tersebut pemerintah menetapkan batas paling tinggi besarnya Dana Operasional dan Tunjangan Komunikasi Intensif yang berdampak pada kenaikan gaji yang diterima Pimpinan dan Anggota Dewan. "Aturan untuk pelaksanaan PP 37 tahun 2006 ini bertujuan untuk memberikan rambu-rambu yang jelas. Tidak berarti dengan otonomi setiap daerah punya kebebasan sendiri dengan suka-suka menggunakan keuangan daerahnya, tetapi mereka melakukan otonomi pada dasarnya untuk bisa memperdekat kemampuan maupun fungsi daerah untuk melayani masyarakat. Bukan untuk melayani pemerintahnya atau DPRD," katanya. Pedoman pelaksanaan PP tersebut, kata dia, mengelompokan kemampuan keuangan daerah berdasarkan Pendapatan Umum Daerah setelah dikurangi belanja untuk gaji pegawai negeri terhadap besaran Tunjangan Komunikasi Intensif dan Dana Operasional.
Kondisi inilah yang menjadi gugatan sebagian anggota masyarakat yang mempertanyakan asas keadilan dari PP tersebut di mana seolah unsur pelayanan publik dan pembangunan dalam APBD hanyalah menjadi unsur residual setelah gaji birokrat dan anggota dewan.  Belum lagi kondisi pertumbuhan ekonomi disertai penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran, membuat masyarakat sangat peka akan alokasi APBD yang dianggap tidak pro orang miskin.
Namun begitu, penolakan tidak hanya terjadi di Jogjakarta saja, di beberapa daerah lain juga mengadakan aksi penolakan tentang PP 37 tahun 2006 yang dirasakan sebagai perampokan uang rakyat dan masyarakat secara legal dan terselubung oleh undang-undang. Namun beberapa suara rakyat itu diterima secara sumbang oleh wakilnya yang kini duduk menikmati pendapatan tersebut. Sangat menyedihkan.
Data yang kami peroleh mangenai perkembangan PP 37 tahun 2006 ini adalah sebagai berikut.
Penentuan kelompok kemampuan keuangan daerah dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu kelompok tinggi, sedang dan rendah.
·      Kelompok tinggi adalah daerah dengan kemampuan keuangan lebih besar dari Rp 1,5 triliun untuk provinsi dan untuk kota/kabupaten kemampuan keuangan lebih besar dari Rp 0,5 triliun.
·      Kelompok sedang adalah daerah dengan kemampuan keuangan untuk provinsi antara Rp 0,6 triliun sampai Rp 1,5 triliun, sedangkan kabupaten/kota sebesar Rp 0,2 triliun sampai Rp 0,5 triliun.
·      Kelompok rendah adalah daerah dengan kemampuan keuangan kurang dari Rp 0,6 triliun untuk provinsi, dan kurang dari Rp 0,2 triliun untuk kabupaten/kota.

Dalam implementasi pedoman peraturan tersebut, di tingkat provinsi;
@ Untuk kelas kemampuan keuangan daerah tinggi (atau lebih besar dari 1,5 triliun), seorang Ketua DPRD dalam satu bulan mendapat gaji maksimum Rp 32.250.250, Wakil Ketua DPRD sebesar Rp 22.787.500, dan anggota DPRD sebesar Rp 12.862.000.
Sementara untuk di kota dan kabupaten, pada kelas kemampuan keuangan daerah tinggi (lebih besar dari Rp 0,5 triliun), seorang Ketua DPRD mendapat gaji Rp 24.721.375.00 per bulan, wakil ketua DPRD sebesar Rp 17.677.450 per bulan, dan anggota DPRD sebesar Rp 10.624.600. per bulan.
@ Pada kelas kemampuan keuangan daerah sedang (Rp 600 miliar - Rp 1,5 triliun), ketua DPRD di tingkat provinsi memperoleh gaji per bulan Rp 23.250.250, wakil ketua DPRD sebesar Rp 16.187.500, dan anggota DPRD sebesar Rp 9.862.000.
Untuk kelas kemampuan keuangan daerah sedang di kabupaten/kota (Rp 200 miliar - Rp 0,5 triliun), seorang ketua DPRD per bulan menerima Rp 18.421.375, wakil ketua DPRD menerima Rp 13.057.450, sedangkan anggota DPRD menerima Rp 8.524.600.
@ Pada kelas kemampuan keuangan daerah rendah setiap bulan Ketua DPRD di tingkat provinsi menerima sebesar Rp 14.250.250, wakil ketua DPRD menerima Rp 10.787.500, dan anggota DPRD mendapat Rp 6.862.000.
Sedangkan dalam kelas kemampuan keuangan daerah kategori rendah (di bawah Rp 200 miliar), Ketua DPRD per bulan menerima Rp 12.121.375, wakil ketua sebesar Rp 9.277.450, dan anggota DPRD Rp 6.424.600.

BAB II
Kajian Pustaka
Pengertian Keadilan
Keadilan itu bukan pengertian. Keadilan adalah suatu kualitas hasil dari sesuatu perbuatan yang dinilai adil, setelah diadakan pemisahan, seleksi mana yang benar dan mana yang salah.
Telah umum diakui bahwa keadilan menyangkut persepsi seseorang tentang perlakuan yang diterimanya dari  orang lain. Biasanya seseorang akan mengatakan bahwa dirinya diperlakukan dengan adil apabila perlakuan itu menguntungkannya. Sebaliknya dia akan cenderung mengatakan bahwa dia diperlakukan tidak adil apabila perlakuan yang diterima dirasakan merugikannya. Dapat dipastikan bahwa persepsi seseorang tentang keadilan berpengaruh pada perilaku dan tinak tandak tanduknya yang pada gilirannya menentukan motivasinya, terutama yang bersifat instrinsik, yang antara lain terlihat pada tingkat prestasi kerjanya.
Yang banyak berlaku ialah pengertian dari sudut pandang masing-masing.
1)      Pengusaha adil   : bila keuntungan terbesar jatuh ke tangan pihak penguasa
2)      Buruh adil          : bila upah dibayar pada waktunya, dan keuntungan pengu-saha juga dibagi sewajarnya pada kaum buruh.
3)      Democrat adil    : bila kepentingan masyarakat diutamakan.
4)      Komunis adil      : bila semua kekuatan di dunia sudah berada di tangan komunisme.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seseorang biasanya menggunakan tiga kategori referensi, yaitu:
a.       Orang lain sebagai pembanding
Untuk menilai apakah seseorang mendapat perlakuan yang adil dalam kehidupan organisasionalnya, ia biasanya melakukan perbandingan antara dirinya dan orang-orang lain dalam organisasi, yaitu mereka yang berada pada tingkat yang sama dalam hirarki organisasi, melakukan tugas yang relative serupa dengan tanggung jawab yang sama pula. Jika terdapat perbedaan perlakuan antara yang bersangkutan dengan orang-orang lain itu, akan timbul persepsi ketidak adilan. Orang lain yang bekerja di organisasi lain juga dapat digunakan sebagai pembanding.
Karena itulah dalam literature tentang Administrasi dan manajemen selalu ditekankan pentingnya criteria yang obyektif dan rasional dalam memprlakukan para bawahan dan menerapkan criteria tersebut secara rasional dan obyektif.
b.      Sistem yang berlaku sebagai pembanding
Dalam suatu organisasi yang baik, biasanya terdapat dan berlaku suatu system tertentu yang berkaitan dengan pengolahan sumber daya manusia yang menjadi anggotanya. Berbagai komponen dalam system tersebut bias mempunyai dua dasar, yaitu:
·         Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah yang harus ditaati oleh setip organisasi.
·         Ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi organisasi yang bersangkutan yang didasarkan pada tradisi, kultur dan kepentingan organisasi tersebut.
System ini biasanya menyangkut seluruh segi kehidupan organisasional. Teori keadilan menyoroti semua komponen itu, meskipun biasanya perhatian utama diberikan pada system pengupahan dan penggajian. Persepsi seseornag diwarnai oleh pandangannya tentang perlakuan terhadap dirinya dalam rangka kerangka system yang berlaku itu.
c.       Diri sendiri sebagai pembanding
Setiap orang memasuki suatu organisasi sebagai tempat “mengadu nasib” dengan berbagai hal yang pada mulanya mungkin bersifat “ego sentris”. Artinya, setiap orang mempunyai persepsi tertentu tentang diri sendiri yang tercermin dari berbagai hal seperti: filsafat hidupnya, latar belakang sosialnya, latar belakang pendidikannya, usianya, pengalamannya dan mungkin juga jumlah tanggungannya, nilai-nilai yang dianutnya.

Ajaran Keadilan Menurut Plato
Ajaran kedilan menurut Plato, adalah merupakan bagian dari cardinal virture (kebajikan pokok), yaitu 4 jenis:
a)      Keadilan (Justice)
b)      Kebijaksanaan (wisdom)
c)      Kebaranian (Courage)
d)     Penguasaan diri (Self Control)
Apabila menurut Aristoteles keadilan bukan bagian dari virture, tetapi meliputi keseluruhannya. Berbuat virture berarti berbuat keadilan. Pengalaman dalam hidup menunujukan bahwa keadilan itu sendiri terbagi-bagi. Yang terbagi dan berbagai macam adalah cara penerapannnya, sesuai dengan sasaran kepada siapa keadilan itu ditujukan. Dari segi filsafat, penerapan dari keadilan itu dapat dibagi atas lima golongan :
1.      Pada diri sendiri
Adil pada diri sendiri berarti memperhatikan kebutuhan diri, tetapi tidak membiarkan diri berbuat tidak adil sampai merugikan orang lain. Lebih jelasnya berlaku kepada diri, artinya menjaga diri dari sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri dan diri orang lain.
2.      Pada sesama manusia
Ajaran ini menyuruh kita berbelas kasih  kepada sesama manusia, bila ajaran ini diterapkan maka orang-orang yang berbondong-bondong menadahkan tangan untuk meminta sesuap nasi akan berkurang .
3.      Pada makhluk lain yang bernyawa
Adil pada makhluk lain yang bernyawa, yaitu binatang dan tumbuh-tumbuhan. Yaitu dengan berbuat sesuatu dengan maksud untuk menyuburkan, mengembangkan dan melipat gandakan tumbuh dan hasilnya. 
4.      Pada alam atau benda mati
Berbuat adil kepada alam yaitu mengambil manfaatnya tanpa merusak alam tersebut.
5.      Pada Tuhan.
Adil kepada Tuhan, yaitu bersikap patuh dan taat mengikuti apa yang telah diperintahkannya.

Justice Theory
Pattern of Justice






Equity Justice











Distributive justice


Equality Justice










Justice


Prosedural justice


Need Justice













Interaksional justice





BAB III
PEMBAHASAN
Dalam suatu perkumpulan selalu terdapat struktur dan peraturan-peraturan didalamnya, karena menyangkut harapan orang banyak termasuk hak dan kewajibannya. Harapan disini berarti memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan kelompok maupun pribadi individu masing-masing. Seperti juga pada suatu Negara yang merupakan sebuah perkumpulan yang paling besar, dan termasuk juga pada Negara Indonesia yang merupakan Negara hukum yang berdiri dengan peraturan-peraturan untuk mencapai suatu keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Keadilan juga merupakan salah satu kebutuhan yang fundamental bagi seluruh lapisan masyarakat. Fenomena PP 37 tahun 2006 mengatur besarnya gaji anggota DPRD, dalam PP tersebut pemerintah menetapkan batas paling tinggi besarnya Dana Operasional dan Tunjangan Komunikasi Intensif yang berdampak pada kenaikan gaji yang diterima Pimpinan dan Anggota Dewan berkaitan dengan kebutuhan (need). Ini ditunjukkan dari latar belakang mengapa Anggota Dewan mengajukan kenaikan gaji, yaitu para Anggota Dewan diharapkan bisa menjalankan fungsinya dengan optimal demi menuju terciptanya Negara demokrasi yang modern. Semua pihak sepakat beahwa gaji yang kecil atau kurang memadai akan mendorong terjadinya penyalah gunaan wewenang yang terkadang mengarah kekorupsi, atau paling tidak akan menciptakan acrobat keuangan Negara dalam bentuk pembentukan begitu banyak tim didalam birokrasi  yang berimplikasi pada honor-honor tambahan. Akan sangat ironis rasanya apabila para birokarat yang mengembangkan tanggung jawab begitu besar lebih menggantungkan hidupnya pada honor dan bukan pada gaji seperti selayaknya seseorang yang dilimpahi tanggung jawab besar.
Besarnya nilai kenaikan gaji tersebut dinilai meresahkan public, sebab selama itu pula uang rakyat sah untuk dijarah anggota DPRD. Padahal sudah  seharusnya Anggota DPRD lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan bisa mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri. Kondisi inilah yang kemudian menjadi gugatan sebagian anggota masyarakat yang mempertanyakan asas keadilan dari PP tersebut di mana seolah-olah unsur pelayanan publik dan pembangunan dalam APBD hanyalah menjadi unsur residual setelah gaji birokrat dan anggota dewan.  Belum lagi kondisi saat ini di mana pertumbuhan ekonomi belum disertai penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran, membuat masyarakat sangat peka akan alokasi APBD yang dianggap tidak pro orang miskin.
Maraknya protes di kalangan masyarakat yang menilai kenaikan gaji anggota dewan sesuai dengan PP37 muncul karena PP tersebut dianggap tidak realistis dan  apabila dilihat dari Ajaran Keadilan oleh Plato tentang penerapan dari keadilan pada diri sendiri, yaitu yang berarti memperhatikan kebutuhan diri tetapi tidak membiarkan diri berbuat tidak adil sampai merugikan orang lain. Ini sangat berbanding  terbalik apabila dibandingkan dengan PP 37 yang hanya akan menguntungkan pihak penguasa dan sangat merugikan bagi masyarakat.
Protes dari kalangan masyarakat yang muncul akibat dari rasa ketidak adilan pemerintah sesuai dengan persepsi keadilan yang mengatakan bahwa sesuatu akan berarti adil apabila menguntungkan. Serta dapat dipastikan bahwa persepsi seseorang berpengaruh pada perilaku.
Skinner atau bahkan Pavlov menawarkan teori stimulus-respon, dalam hal ini maka dapat diambil kesimpulan pada kebijakan perintahan. Dengan adanya PP 37 tahun 2006, dan hal itu tadi sebagai stimulus penggugah untuk menumbuhkan tindakan baru sebagai responnya, mungkin juga jika tindakan itu akan berbentuk pada agresifitas, dengan alibi bahwa tidak adanya keseimbangan pada hasil yang diterima dari kedua belah pihak, yakni antara pemerintah dan rakyat. Perasaan dirugikan menjadi pemicu dan bahkan penguat (reinforcement) untuk menanggapi stimulus yang diberikan.
Dari sisi kemanusian juga dapat kita lihat, bahwa kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah, pada akhirnya juga akan menguntungkan pemerintah sendiri, atau dalam makna paling kasar bahwa peraturan atau hukum yang diciptakan sebagai tatanan yang harus dijalankan, akan menjadi benrteng kejahatan yangdiselubung rapi.
Sebagai wakil rakyat terekam komentarnya tentang kasus PP 37 tahun 2007, namun anehnya mereka menanggapi hal tersebut dengan lebih santai, bahkan ada pembelaan untuk penyetujuan legalitas. Seperti halnya Pemerintah Kota Cirebon, Jabar, menegaskan akan memenuhi berapa pun kenaikan tunjangan yang diminta oleh anggota dewan. Pemkot bahkan telah menyiapkan dana Rp 8 miliar. "Besarannya enam kali tunjangan representasi. Dan kami siap memenuhinya," kata Asisten Daerah Administrasi dan Keuangan Pemkot Cirebon Hasanudin Manaf. Begitu juga dengan para bupati dan wali kota di Sulawesi Utara juga tidak ingin mempersoalkan PP tersebut. "Karena ini amanat, tentu kita harus laksanakan," kata Bupati Minahasa Vreeke Runtu, Senin.
Hal senada disampaikan Wali Kota Tomohon Jefferson Rumayar. Menurut Rumayar, sebagai kota yang baru berusia tiga tahun hasil pemekaran dari Kabupaten Minahasa, Tomohon sebetulnya sangat tidak memungkinkan melaksanakan PP itu. APBD kota itu tahun lalu Rp1,7 miliar dan 2007 dianggarkan Rp2,5 miliar. "Ya, kita sesuaikan saja, sebab peraturan pemerintah tak bisa kita tolak," ujarnya.
Begitu juga Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi. Menurutnya, sebagai kepala daerah tidak dapat menolak penerapan PP itu. Di Jakarta, Gubernur DKI Sutiyoso mengaku pasrah. "Namanya saja PP, berarti harus saya kerjakan," ujarnya.
Pemanjaan para anggota dewan ini serasa sudah tidak manusiawi lagi, karena ada pihak yang dirugikan dalam kontak sosialyang terjadi, karena bagaimanapun juga hubungan saling mengntungkan aanntara satu denga yang lain harus terbentuk.

BAB IV
Kesimpulan dan Penutup
Kesimpulan
Problematika keadilan sangat nyata dimuka bumi ini, sehinga sebuah teori kecil didedikasikan untuk menjelaskannya. Pada dasarnya keadilan adalah perbandingan antara pengorbanan yang diberikan dengan hasil yang diterima, bahkan jika dibandingkan dengan orang lain yang mempunyai profesi sama.
Macam-Macam Keadilan
n  Distributive justice = keadilan yg berbicara tentang pembagian sumber daya (resousce allocation). Mis : uang, kekuasaan, pemerintahan dll.
n  Prosedural justice = menitik beratkan pada metode pengambilan keputusan diambil berkaitan dengan pembagian SD.
n  Interaksional justice = Penilaian tentang macam-macam sejauh mana dia diperlakukan selama  prosedur dilaksanakan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penilaian Terhadap Prosedural Justice
n  Konsistensi prosedur
n  Ketepatan informasi yang digunakan
n  Kesempatan untuk melakukan koreksi
n  Pencegahan terhadap penyimpangan
n  Sejauh mana prosedur dilakukan sesuai dengan nilai moral dan etika
Faktor Yang Mempeengaruhi Penilaian Terhadap  Interaksional Justice
n  Sikap Baik dan Sejauh mana ada alasan yang jelas dan rasional.
Penutup
Demikian yang dapat kami berikan kepada pembaca, mudah-mudahan dapat dijadikan kontribusi informasi dan bermanfaat secara teoritis atau praktis dan dapat diaplikasikan dalam bentuk kegiatan sosial bersama agennya, baik itu keluarga atau hingga pada agama dan negara.
Selanjutnya kami mohon kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga dapat menjadi pertimbangan dan peringatan sekaligus nasehat pada diri penulis untuk semakin berusaha menjadi yang terbaik seiring dengan terus berjalannya waktu. Terima kasih dan mohon maaf adanya.

Daftar Pustaka
·         Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta, PT Rineka Cipta; 1995.
·         Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, Jakarta, PT Rineka Cipta; 1997.
·         Keterangan Psikologi Sosial oleh Dosen Pembimbing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar