PSIKODINAMIKA PELAKU BULLYING
PADA SALAH SATU SMA di Malang
Oleh : Nor Amalia Abdiah, S.Psi
Tindak kekerasan terjadi di seluruh dunia bahkan di seluruh segmen
masyarakat. Kekerasan dapat muncul dengan berbagai cara dan dapat dilihat
dalam tindakan yang berbeda. Kekerasan juga dinamakan dengan agresifitas.
Agresivitas manusia merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental.1
Kekerasan dapat terjadi kapan dan di mana saja. Kekerasan dapat
terjadi di rumah tangga, dunia kerja, bahkan dalam dunia pendidikan. Bahkan
seringkali sulit mencegah agar tindak kekerasan tidak menyebar. Kekerasan
bisa disebabkan oleh banyak hal, menindas orang lain karena menganggap
bahwa hal itu wajar dan harus dibalas dengan hal yang serupa tidak akan
memutus rantai kekerasan itu sendiri, tapi akan semakin menyebar dan subur.
Penelitian oleh sosiolog Murray Straus, Richard Gelles, dan Suzanne
Steinmetz melihat bahwa setiap agresi cenderung berlanjut.2 hasil penelitian
mereka yaitu semakin sering orang tua responden bertengkar, semakin sering
pula satu atau keduanya memukuli anak-anak mereka. Selain itu, banyak
orang tua agresif menularkan pandangan agresif mereka kepada anakanaknya.\
Penindasan menjadi sebuah isu hidup dan mati yang sering diabaikan
dalam kehidupan sehari-hari. Sampai akhirnya, berbagai kasus akibat
penindasan ini terungkap satu persatu ke permukaan, dan telah menelan
korban. Penindasan pada hakikatnya tidak bisa diremehkan oleh orang
dewasa, apalagi disangkal. Beberapa ahli sosial menyatakan bahwa
meningkatnya kecenderungan ke arah penindasan mungkin karena semakin
banyak orang yang merasa berhak membalas dendam kepada orang lain yang
mereka anggap telah berbuat salah pada mereka.
Bullying sebagai salah satu tipe agresif yang seringkali terjadi di
masyarakat seringkali tidak disadari keberadaannya. Menurut Pepler dan
Craig Bullying adalah bentuk pernyataan yang tegas akan kekuatan melalui
tindakan agresif.3 Ini terbentuk dan berganti sesuai usia : bullying usia
sekolah dan saat taman kanak-kanak, kekerasan seksual, penyerangan antar
geng, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan anak, gangguangangguan
di tempat kerja, dan penaganiayaan saat usia lanjut usia. Bentuk
bullying bermacam-macam, di antara kasus-kasus bullying jarang yang yang
berbentuk kekerasan fisik atau berupa kekerasan mental berat. Bullying lebih
sering berupa gangguan yang ditujukan secara individu dalam bentuk
gangguan-gangguan ringan dan komentar-komentar yang tidak berbahaya.
Namun, karena sifat bullying adalah konstan dan tidak menunjukkan belas
kasihan, maka menjadi serangan agresif.
Stephenson dan Smith menjelaskan bahwa bullying digambarkan
sebagai bentuk dari interaksi sosial di mana individu yang dominan
memperlihatkan perilaku agresif dengan intensitas dengan alasan menekan
individu yang kurang dominan. Bullying tidak termasuk perilaku normal
anak-anak seperti perkelahian atau persaingan satu lawan satu antar saudara
kandung atau antar teman sebaya karena tuntutan persaingan.4
Bullying kadang-kadang sangat halus, tidak kentara sehingga kita
tidak sadar telah menjadi korbannya. Data statistic tahun 2003 menunjukkan
16 anak-anak di Inggris mengalami persoalan serius karena kasus Bullying.5
Ketidaksadaran akan bullying ini, menjadi perhatian besar. Bahkan, bisa jadi
pelaku bullying sendiri tidak menyadari bahwa dia telah melakukan tindakan
bullying. Perkataan-perkataan kasar, atau panggilan-panggilan buruk untuk
seseorang adalah salah satu tindakan bullying yang sering terjadi di
masayarakat Indonesia dan dianggap sebagai alat komunikasi yang wajar.
Pada dasarnya, pelaku bullying akan berusaha merendahkan diri
seseorang, dan menyebabkan nya memiliki pandangan negatif tentang diri
sendiri. Hal ini akan mengakibatkan korban bullying merasa tidak bahagia,
memengaruhi kinerja, tetapi juga membatasi relasi dengan orang lain, dan
menciptakan rintangan dalam kehidupan.
Pelaku bullying akan mengganggap bahwa penyelesaian masalah
dengan cara-cara kekerasan atau mengintimidasi orang lain adalah cara yang
harus ditempuh dalam memenuhi keinginannya. Hal ini akan mendorong sifat
premanisme yang akan terbawa hingga dewasa. Sehingga, pengalaman
kekerasan yang terjadi saat ia masa kecil akan berdampak pada perilaku nya
saat dewasa nanti. Bahkan, mereka kelak akan menindas anak-anak mereka
sendiri, gagal dalam hubungan pribadi, serta kehilangan pekerjaan. Jika
sekolah sebagai institusi pendidikan tidak bertindak tegas terhadap kekerasan
antar pelajar, maka ini artinya akan memupuk kekerasan dalam kehidupan
pelajar itu sendiri.
Di Indonesia, kasus bullying melanda beberapa sekolah, beberapa
sekolah di Malang ditemukan adanya kasus bullying dari tingkat sekolah
dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Kasus-kasus ini jarang
menguak ke permukaan karena guru, orangtua, bahkan siswa belum memiliki
kesadaran tentang bullying. Beberapa kalangan masyarakat menganggap
bullying adalah sesuatu yang wajar yang pasti terjadi dalam fase kehidupan,
sehingga ini menjadi kebiasaan turun-temurun.
Pada bulan Agustus 2008, SMA Shalahuddin SMA yang dulunya
bernama SMA Nahdhatul Ulama terdeteksi adanya tindak kekerasan yang
dilakukan oleh siswi kelas XII IPS 2 terhadap teman sekelasnya sendiri, dan
ini menyeruak ke media massa. Tak berselang lama, pada bulan Nopember
2008 kasus serupa terulang kembali dengan kasus bullying yang terjadi di
SMU Cokro Aminoto oleh geng siswi sekolah tersebut. Ironisnya, salah satu
pelakunya dan korban adalah siswi pindahan dari SMA Shalahudin, dan ini
adalah alasan utama peneliti memlih SMA Shalahuddin sebagai tempat
penelitian.
Selain itu, peneliti menemukan 10 siswa dari kelas 1 dan kelas 2 IPS
1 (6 laki-laki dan 4 perempuan) pada SMA Shalahuddin yang teridentifikasi
pernah melakukan aksi bullying baik sebagai pelaku atau sebagai korban.6
Pertengahan Juni 2008 lalu, para remaja putri di Pati, Jawa Tengah.
Kelompok yang menamakan dirinya dengan Geng Nero (neko-neko
dikeroyok) melakukan tindak kekerasan di sekolah, masih duduk di kelas 1
SMA. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan bagi kita, yang
sebelumnya tidak pernah mengira bahwa akan ada kekerasan yang dilakukan
oleh remaja putri. Kekerasan yang dilakukan oleh anak laki-laki, mungkin
sudah biasa bagi kita, bahkan tawuran pelajar kerap mewarnai berita-berita di
media massa atau telinga kita. Namun, geng ini sepenuhnya adalah
perempuan. Hanya karena persoalan sepele, ada sedikit kesalahan, atau ingin
menjadi anggota geng ini, anak kerapkali mendapat ujian atau hukuman
Maraknya aksi bullying atau tindakan yang membuat seseorang
merasa teraniaya di sekolah, baik oleh sesama siswa, alumni, atau bahkan
guru itu sendiri. Bullying yang menyeruak ke permukaan seperti kasus di atas
adalah tipe bullying berjenis kekerasan fisik, sedangkan bullying yang sangat
halus yakni bullying melalui verbal, dan emosional jarang terungkap karena
keidaksadaran akan bullying tersebut.
Bullying di sekolah memiliki akibat buruk saat korban berusaha
menghadapinya, tetapi gagal. Mereka berusaha untuk membolos dan
melakukan perilaku yang buruk, seperti berbohong, tugas sekolah tidak
dikerjakan dengan baik, menjadi tak bersemangat atau bahkan depresi. Anakanak
yang menjadi korban bullying ini menghabiskan banyak waktu untuk
memikirkan cara guna menghindari trauma karena merasa tidak aman di
sekolah dan hanya memiliki sedikit energi untuk belajar.
Beberapa penelitian sebelumnya, yakni penelitian yang dilakukan
oleh Kumpulainen, Whitney, dan Smith7 juga ditemukan perbedaan umur dan
gender yang dapat memengaruhi perilaku bullying. Pada usia 15 tahun, anak
laki-laki ditemukan lebih cenderung mem-bully dengan kontak fisik
langsung, sementara anak perempuan lebih cenderung mem-bully dengan
perilaku tidak langsung. Namun tidak ditemukan perbedaan dalam
kecenderungan melakukan bullying verbal langsung. Pada usia 18 tahun,
kecenderungan anak laki-laki mem-bully dengan kontak fisik menurun tajam,
dan kecenderungannya untuk menggunakan perilaku verbal langsung dan
perilaku tidak langsung meningkat, meskipun anak perempuan masih tetap
lebih tinggi kecenderungannya dalam hal ini.
Menurut survei sebuah media massa, selama tahun 2000-2005
terdapat 30 kasus bunuh diri anak berusia 9-15 tahun sebagai akibat dari
bullying. Mayoritas penelitian tentang fenomena bullying dilakukan di
Negara Eropa dan Australia. Dalam penelitian internasional terhadap perilaku
kesehatan remaja, prosentase pelajar yang dilaporkan paling sedikit dari yang
rendah adalah 15 % - 20 % di beberapa negara sampai tinggi nya mencapai
70 % pernah satu kali menjadi korban bullying dalam perkembangan
hidupnya.8 Fakta keprihatinan lain nya adalah fenomena bullying itu terjadi
satu kali dalam seminggu atau lebih.
Bullying juga salah satu indikasi dari ketidakmampuan seseorang
dalam peneyesuaian diri (maladjustment) yang kadang dihubungkan oleh
miskinnya kesehatan dikarenakan stress yang menghimpit.9 Kaltiala
menemukan bahwa kecemasan dan depresi paling sering dilaporkan sebagai
akibat dari bullying.10
Erich Fromm menuliskan bahwa perilaku kekerasan dipicu oleh
berbagai faktor, dan salah satunya adalah kondisi psikologis. Narsisisme,
salah satu kajian Fromm dalam memahami kekerasan dijabarkan sebagai
kondisi pengalaman seseorang di mana yang ia rasakan sebagai sesuatu yang
benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya,
pikirannya, kekayaannya, atau benda-benda yang masih ada hubungan
dengannya. Sedangkan orang-orang atau benda- benda yang tidak menjadi
bagian darinya atau tidak dia butuhkan, tidaklah menarik, tidak sepenuhnya
nyata, dan hanya dipahami sebatas nalar, sedangkan dari segi perasaan tidak
memiliki bobot dan daya tarik.
Rasa keberhargaan ini bergantung pada gambar diri mereka yang
narsistik, dan bukannya kepada pencapaian-pencapaian mereka yang
sebenarnya. Ketika upaya-upaya mereka dikritik oleh orang lain, mereka
akan bereaksi dengan penuh kemarahan dan kekasaran, seringkali membalas
pengkritiknya dan berusaha menghancurkan mereka sampai habis. Jika kritik
terlalu menohok sehingga mereka tidak sanggup menghancurkan nya, maka
mereka menyimpan kemarahan itu dalam dirinya. Akibatnya, ia akan
memiliki perasaan tak berharga, memandang diri nya secara negatif11.
Bullying sendiri berawal dari perasaan negatif dalam memandang diri
sendiri, dan merasa tidak dicintai. Kemudian individu tersebut berusaha
untuk menghancurkan orang lain supaya ia merasa lebih baik, meskipun ia
sendiri tidak menyadari bahwa ia telah terjebak dalam perilaku negatif.
Dikarenakan pelaku bullying tidak memperoleh penghargaan dan pengakuan
dari orang lain, maka ia berusaha meningkatkan harga diri dengan
menyombongkan diri. Menyombongkan diri juga bisa membuat orang lain
semakin ingin melakukan bullying. Pelaku seringkali menciptakan bualanbualan
agar diperhatikan oleh orang lain. Pada akhirnya, yang tercipta adalah
lingkaran kebohongan.
Kesemua kasus yang cukuplah untuk diakhiri, memang seharusnya
tak hanya menjadi pembahasan para pemerhati pendidikan, maupun para
pemerhati anak karena ini bukanlah topik yang perlu diperbincangkan lagi.
Namun, sudah saatnya lah semua pihak memerhatikan dan mencari solusi
agar kejadian kekerasan tidak terjadi khususnya di institusi pendidikan.
Karena ini akan sangat menampar dunia pendidikan bahwa etika orang
terpelajar sudah semakin bobrok.
Kesadaran sekolah untuk peduli terhadap gerakan anti bullying
(kekerasan antar pelajar) dinilai masih sangat rendah, karena hingga saat ini
ternyata belum ada 1% sekolah yang memiliki program menolak bullying
(Depkom info). Dalam mengatasi masalah bullying di sekolah, pihak yang
paling banyak mengambil peran adalah sekolah itu sendiri.
Penelitian ini dianggap sangat penting, karena semakin hari kekerasan
dalam kehidupan semakin tinggi dan semakin menjamur. Maka dari itu,
peneliti memilih tema yang menggambarkan aspek psikodinamika perilaku
bullying. Selain itu, peneliti juga tertarik terhadap penguakan faktor yang
menunjang terjadinya kasus bullying.
PADA SALAH SATU SMA di Malang
Oleh : Nor Amalia Abdiah, S.Psi
Tindak kekerasan terjadi di seluruh dunia bahkan di seluruh segmen
masyarakat. Kekerasan dapat muncul dengan berbagai cara dan dapat dilihat
dalam tindakan yang berbeda. Kekerasan juga dinamakan dengan agresifitas.
Agresivitas manusia merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan
untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental.1
Kekerasan dapat terjadi kapan dan di mana saja. Kekerasan dapat
terjadi di rumah tangga, dunia kerja, bahkan dalam dunia pendidikan. Bahkan
seringkali sulit mencegah agar tindak kekerasan tidak menyebar. Kekerasan
bisa disebabkan oleh banyak hal, menindas orang lain karena menganggap
bahwa hal itu wajar dan harus dibalas dengan hal yang serupa tidak akan
memutus rantai kekerasan itu sendiri, tapi akan semakin menyebar dan subur.
Penelitian oleh sosiolog Murray Straus, Richard Gelles, dan Suzanne
Steinmetz melihat bahwa setiap agresi cenderung berlanjut.2 hasil penelitian
mereka yaitu semakin sering orang tua responden bertengkar, semakin sering
pula satu atau keduanya memukuli anak-anak mereka. Selain itu, banyak
orang tua agresif menularkan pandangan agresif mereka kepada anakanaknya.\
Penindasan menjadi sebuah isu hidup dan mati yang sering diabaikan
dalam kehidupan sehari-hari. Sampai akhirnya, berbagai kasus akibat
penindasan ini terungkap satu persatu ke permukaan, dan telah menelan
korban. Penindasan pada hakikatnya tidak bisa diremehkan oleh orang
dewasa, apalagi disangkal. Beberapa ahli sosial menyatakan bahwa
meningkatnya kecenderungan ke arah penindasan mungkin karena semakin
banyak orang yang merasa berhak membalas dendam kepada orang lain yang
mereka anggap telah berbuat salah pada mereka.
Bullying sebagai salah satu tipe agresif yang seringkali terjadi di
masyarakat seringkali tidak disadari keberadaannya. Menurut Pepler dan
Craig Bullying adalah bentuk pernyataan yang tegas akan kekuatan melalui
tindakan agresif.3 Ini terbentuk dan berganti sesuai usia : bullying usia
sekolah dan saat taman kanak-kanak, kekerasan seksual, penyerangan antar
geng, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan anak, gangguangangguan
di tempat kerja, dan penaganiayaan saat usia lanjut usia. Bentuk
bullying bermacam-macam, di antara kasus-kasus bullying jarang yang yang
berbentuk kekerasan fisik atau berupa kekerasan mental berat. Bullying lebih
sering berupa gangguan yang ditujukan secara individu dalam bentuk
gangguan-gangguan ringan dan komentar-komentar yang tidak berbahaya.
Namun, karena sifat bullying adalah konstan dan tidak menunjukkan belas
kasihan, maka menjadi serangan agresif.
Stephenson dan Smith menjelaskan bahwa bullying digambarkan
sebagai bentuk dari interaksi sosial di mana individu yang dominan
memperlihatkan perilaku agresif dengan intensitas dengan alasan menekan
individu yang kurang dominan. Bullying tidak termasuk perilaku normal
anak-anak seperti perkelahian atau persaingan satu lawan satu antar saudara
kandung atau antar teman sebaya karena tuntutan persaingan.4
Bullying kadang-kadang sangat halus, tidak kentara sehingga kita
tidak sadar telah menjadi korbannya. Data statistic tahun 2003 menunjukkan
16 anak-anak di Inggris mengalami persoalan serius karena kasus Bullying.5
Ketidaksadaran akan bullying ini, menjadi perhatian besar. Bahkan, bisa jadi
pelaku bullying sendiri tidak menyadari bahwa dia telah melakukan tindakan
bullying. Perkataan-perkataan kasar, atau panggilan-panggilan buruk untuk
seseorang adalah salah satu tindakan bullying yang sering terjadi di
masayarakat Indonesia dan dianggap sebagai alat komunikasi yang wajar.
Pada dasarnya, pelaku bullying akan berusaha merendahkan diri
seseorang, dan menyebabkan nya memiliki pandangan negatif tentang diri
sendiri. Hal ini akan mengakibatkan korban bullying merasa tidak bahagia,
memengaruhi kinerja, tetapi juga membatasi relasi dengan orang lain, dan
menciptakan rintangan dalam kehidupan.
Pelaku bullying akan mengganggap bahwa penyelesaian masalah
dengan cara-cara kekerasan atau mengintimidasi orang lain adalah cara yang
harus ditempuh dalam memenuhi keinginannya. Hal ini akan mendorong sifat
premanisme yang akan terbawa hingga dewasa. Sehingga, pengalaman
kekerasan yang terjadi saat ia masa kecil akan berdampak pada perilaku nya
saat dewasa nanti. Bahkan, mereka kelak akan menindas anak-anak mereka
sendiri, gagal dalam hubungan pribadi, serta kehilangan pekerjaan. Jika
sekolah sebagai institusi pendidikan tidak bertindak tegas terhadap kekerasan
antar pelajar, maka ini artinya akan memupuk kekerasan dalam kehidupan
pelajar itu sendiri.
Di Indonesia, kasus bullying melanda beberapa sekolah, beberapa
sekolah di Malang ditemukan adanya kasus bullying dari tingkat sekolah
dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Kasus-kasus ini jarang
menguak ke permukaan karena guru, orangtua, bahkan siswa belum memiliki
kesadaran tentang bullying. Beberapa kalangan masyarakat menganggap
bullying adalah sesuatu yang wajar yang pasti terjadi dalam fase kehidupan,
sehingga ini menjadi kebiasaan turun-temurun.
Pada bulan Agustus 2008, SMA Shalahuddin SMA yang dulunya
bernama SMA Nahdhatul Ulama terdeteksi adanya tindak kekerasan yang
dilakukan oleh siswi kelas XII IPS 2 terhadap teman sekelasnya sendiri, dan
ini menyeruak ke media massa. Tak berselang lama, pada bulan Nopember
2008 kasus serupa terulang kembali dengan kasus bullying yang terjadi di
SMU Cokro Aminoto oleh geng siswi sekolah tersebut. Ironisnya, salah satu
pelakunya dan korban adalah siswi pindahan dari SMA Shalahudin, dan ini
adalah alasan utama peneliti memlih SMA Shalahuddin sebagai tempat
penelitian.
Selain itu, peneliti menemukan 10 siswa dari kelas 1 dan kelas 2 IPS
1 (6 laki-laki dan 4 perempuan) pada SMA Shalahuddin yang teridentifikasi
pernah melakukan aksi bullying baik sebagai pelaku atau sebagai korban.6
Pertengahan Juni 2008 lalu, para remaja putri di Pati, Jawa Tengah.
Kelompok yang menamakan dirinya dengan Geng Nero (neko-neko
dikeroyok) melakukan tindak kekerasan di sekolah, masih duduk di kelas 1
SMA. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan bagi kita, yang
sebelumnya tidak pernah mengira bahwa akan ada kekerasan yang dilakukan
oleh remaja putri. Kekerasan yang dilakukan oleh anak laki-laki, mungkin
sudah biasa bagi kita, bahkan tawuran pelajar kerap mewarnai berita-berita di
media massa atau telinga kita. Namun, geng ini sepenuhnya adalah
perempuan. Hanya karena persoalan sepele, ada sedikit kesalahan, atau ingin
menjadi anggota geng ini, anak kerapkali mendapat ujian atau hukuman
Maraknya aksi bullying atau tindakan yang membuat seseorang
merasa teraniaya di sekolah, baik oleh sesama siswa, alumni, atau bahkan
guru itu sendiri. Bullying yang menyeruak ke permukaan seperti kasus di atas
adalah tipe bullying berjenis kekerasan fisik, sedangkan bullying yang sangat
halus yakni bullying melalui verbal, dan emosional jarang terungkap karena
keidaksadaran akan bullying tersebut.
Bullying di sekolah memiliki akibat buruk saat korban berusaha
menghadapinya, tetapi gagal. Mereka berusaha untuk membolos dan
melakukan perilaku yang buruk, seperti berbohong, tugas sekolah tidak
dikerjakan dengan baik, menjadi tak bersemangat atau bahkan depresi. Anakanak
yang menjadi korban bullying ini menghabiskan banyak waktu untuk
memikirkan cara guna menghindari trauma karena merasa tidak aman di
sekolah dan hanya memiliki sedikit energi untuk belajar.
Beberapa penelitian sebelumnya, yakni penelitian yang dilakukan
oleh Kumpulainen, Whitney, dan Smith7 juga ditemukan perbedaan umur dan
gender yang dapat memengaruhi perilaku bullying. Pada usia 15 tahun, anak
laki-laki ditemukan lebih cenderung mem-bully dengan kontak fisik
langsung, sementara anak perempuan lebih cenderung mem-bully dengan
perilaku tidak langsung. Namun tidak ditemukan perbedaan dalam
kecenderungan melakukan bullying verbal langsung. Pada usia 18 tahun,
kecenderungan anak laki-laki mem-bully dengan kontak fisik menurun tajam,
dan kecenderungannya untuk menggunakan perilaku verbal langsung dan
perilaku tidak langsung meningkat, meskipun anak perempuan masih tetap
lebih tinggi kecenderungannya dalam hal ini.
Menurut survei sebuah media massa, selama tahun 2000-2005
terdapat 30 kasus bunuh diri anak berusia 9-15 tahun sebagai akibat dari
bullying. Mayoritas penelitian tentang fenomena bullying dilakukan di
Negara Eropa dan Australia. Dalam penelitian internasional terhadap perilaku
kesehatan remaja, prosentase pelajar yang dilaporkan paling sedikit dari yang
rendah adalah 15 % - 20 % di beberapa negara sampai tinggi nya mencapai
70 % pernah satu kali menjadi korban bullying dalam perkembangan
hidupnya.8 Fakta keprihatinan lain nya adalah fenomena bullying itu terjadi
satu kali dalam seminggu atau lebih.
Bullying juga salah satu indikasi dari ketidakmampuan seseorang
dalam peneyesuaian diri (maladjustment) yang kadang dihubungkan oleh
miskinnya kesehatan dikarenakan stress yang menghimpit.9 Kaltiala
menemukan bahwa kecemasan dan depresi paling sering dilaporkan sebagai
akibat dari bullying.10
Erich Fromm menuliskan bahwa perilaku kekerasan dipicu oleh
berbagai faktor, dan salah satunya adalah kondisi psikologis. Narsisisme,
salah satu kajian Fromm dalam memahami kekerasan dijabarkan sebagai
kondisi pengalaman seseorang di mana yang ia rasakan sebagai sesuatu yang
benar-benar nyata hanyalah tubuhnya, kebutuhannya, perasaannya,
pikirannya, kekayaannya, atau benda-benda yang masih ada hubungan
dengannya. Sedangkan orang-orang atau benda- benda yang tidak menjadi
bagian darinya atau tidak dia butuhkan, tidaklah menarik, tidak sepenuhnya
nyata, dan hanya dipahami sebatas nalar, sedangkan dari segi perasaan tidak
memiliki bobot dan daya tarik.
Rasa keberhargaan ini bergantung pada gambar diri mereka yang
narsistik, dan bukannya kepada pencapaian-pencapaian mereka yang
sebenarnya. Ketika upaya-upaya mereka dikritik oleh orang lain, mereka
akan bereaksi dengan penuh kemarahan dan kekasaran, seringkali membalas
pengkritiknya dan berusaha menghancurkan mereka sampai habis. Jika kritik
terlalu menohok sehingga mereka tidak sanggup menghancurkan nya, maka
mereka menyimpan kemarahan itu dalam dirinya. Akibatnya, ia akan
memiliki perasaan tak berharga, memandang diri nya secara negatif11.
Bullying sendiri berawal dari perasaan negatif dalam memandang diri
sendiri, dan merasa tidak dicintai. Kemudian individu tersebut berusaha
untuk menghancurkan orang lain supaya ia merasa lebih baik, meskipun ia
sendiri tidak menyadari bahwa ia telah terjebak dalam perilaku negatif.
Dikarenakan pelaku bullying tidak memperoleh penghargaan dan pengakuan
dari orang lain, maka ia berusaha meningkatkan harga diri dengan
menyombongkan diri. Menyombongkan diri juga bisa membuat orang lain
semakin ingin melakukan bullying. Pelaku seringkali menciptakan bualanbualan
agar diperhatikan oleh orang lain. Pada akhirnya, yang tercipta adalah
lingkaran kebohongan.
Kesemua kasus yang cukuplah untuk diakhiri, memang seharusnya
tak hanya menjadi pembahasan para pemerhati pendidikan, maupun para
pemerhati anak karena ini bukanlah topik yang perlu diperbincangkan lagi.
Namun, sudah saatnya lah semua pihak memerhatikan dan mencari solusi
agar kejadian kekerasan tidak terjadi khususnya di institusi pendidikan.
Karena ini akan sangat menampar dunia pendidikan bahwa etika orang
terpelajar sudah semakin bobrok.
Kesadaran sekolah untuk peduli terhadap gerakan anti bullying
(kekerasan antar pelajar) dinilai masih sangat rendah, karena hingga saat ini
ternyata belum ada 1% sekolah yang memiliki program menolak bullying
(Depkom info). Dalam mengatasi masalah bullying di sekolah, pihak yang
paling banyak mengambil peran adalah sekolah itu sendiri.
Penelitian ini dianggap sangat penting, karena semakin hari kekerasan
dalam kehidupan semakin tinggi dan semakin menjamur. Maka dari itu,
peneliti memilih tema yang menggambarkan aspek psikodinamika perilaku
bullying. Selain itu, peneliti juga tertarik terhadap penguakan faktor yang
menunjang terjadinya kasus bullying.
bully emang masalah besar karena dampaknya pada perkembangan jiwa anak,tapi sayangnya kenapa masih banyak orang yang tidak tau akan dampak tersebut sehingga cenderung menganggap bully adalah masalah kecil,benar2 ironis
BalasHapus