Bashirah, Ilham dan Ilmu Laduni
Oleh:
Faikatul Alfiah (06410095)
Ana Khoirurah (06410096)
Aprilina Hartanti (06410097)
Qurotul A’yuni (06410098)
Oleh:
Faikatul Alfiah (06410095)
Ana Khoirurah (06410096)
Aprilina Hartanti (06410097)
Qurotul A’yuni (06410098)
BASHIRAH
Hati, secara arti bahasa ada beberapa pengertian, namun yangdimaksudkan disini adalah sesuatu yang ada didalam tubuh manusia yangdianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian – pengertian (perasaan , dan sebagainya )Hati yang dimaksudkan ini, adalah mempunyai pengaruh kepada kesehatanjiwa (qalb al Nafs )Al Qur'an juga menyebutkan hati manusia ini dengan istilah Fu'ad,jamak katanya : Af'idah ( QS 14: 43), juga membahasakan untuk suasanahati ini dengan kata Shadr, jamak katanya : Shudur ( QS 94:1 )Selain itu, juga acap kali mendengar kata Bashiroh, hal ini jika dihubungkan dengan 4 arti, yaitu Ketajaman Hati, Kecerdasan,Kemantapan dalam Agama, dan Keyakinan hati.Kata ini (Bashiroh) walaupun mengandung arti penglihatan, dalam literature Arab jarang digunakan untuk indera penglihatan saja, namunbiasanya selalu dikaitkan dengan pandangan Hati.Fungsi utama hati, adalah sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai , hal ini digambarkan Al Qur'an QS 22: 46 sebagai berikut " maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. " Berangkat dari fungsinya ini, maka hati manusia itulah yang nanti harus dipertanggungjawabkan oleh manusia kepada Alloh SWT, sebagaimana firmanNYA QS 17:36 artinya :
" Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya."
Dari sinilah titik pangkalnya, karena nantinya manusia itu akan dimintai pertanggung jawaban oleh Alloh SWT, maka kita harus berusaha selalu agar ARAH HATI kita tidak melenceng dari yang diperintahkan oleh Alloh pada diri kita, manusia ini, yaitu untuk selalu beribadah pada ALLOH SWT, sebagaimana firmanNYA, QS Adz Dzaariyat ayat 56 :
" Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka berIbadah pada-Ku ".
Juga, ketika awal diciptakan, persaksian akan Alloh, sebagai titik pangkal keimanan, sebagaimana firmanNYA QS As Sajdah ayat 9 :
" Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur."
Beserta ruh ini, Alloh menyisipkan sang Jiwa (Nafs) yang telah diminta persaksiaNnya terlebih dahulu dihadapan Alloh SWT, sesuai firmanNYA, QS Al A'roof ayat 172 :
" Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Persaksian awal inilah yang mengindikasikan bahwa kita harus terus menerus menjaganya agar tidak melenceng iman kita, ARAH HATI kita, yaitu bahwa hanya alloh SWT ini Tuhan kita.
Sholat, secara harafiyyah berarti DO'A, dalam sholat ini memang berisi do'a-do'a kita kepada Alloh SWT. Dalam do'a , kita panjatkan keinginan kita pada Alloh, jadi, bagaimana akan dikabulkan do'a jika arah hati kita tidak PRESISI pada Sang Pencipta, Alloh SWT ?Itulah kenapa ada yang berpedoman, presisinya arah hati ini diutamakan, namun tidak bisa dipisahkan dengan arah kiblat secara dhahir, Masjidil Harom.
Bolehkah dikupas tentang Masjidil Harom ini ? Apa iya hanya dhahir saja ? FirmanNya pada QS Al Isro' ayat 1 :
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Dari sini Alloh mengkabarkan bahwa Nabi Muhammad SAW, sang manusia teladan, diperjalankan mulai dari Masjidil Harom, lalu ke Masjidil Aqsho, kemudian naik ke Sidrotil Muntaha, lalu turun lagi ke Masjidil Aqsho, dan kembali ke Masjidil Harom.
Kesimpulannya, Masjidil Harom itu adalah Awal dan Akhir perjalanan manusia, contohnya manusia yang terbaik adalah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Firman Alloh QS Tho – Ha ,ayat 55 :
" Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain."
Dari ayat ini, Alloh berfirman, bahwa manusia itu diciptakan berasal dari bumi, kalau sudah selesai nanti didunia, akan kembali lagi ke bumi (tanah).
Lalu kita telaah Hadits berikut ini :
"Bersabda Rosululloh SAW : Semua bumi itu adalah MASJID, kecuali kuburan dan WC "
Masjid mengandung pengertian tempat sujud, semua makhluk, tempat sujudnya di bumi.
Dalam firmanNYA QS 2 : ayat 11, disebutkan :
"Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."
Dari ayat tersebut, Allah melarang kita untuk membuat kerusakan di bumi, karena Bumi itu Masjid, karena kita itu dilarang / harom untuk merusak masjid, kalau digandeng bunyinya masjidil harom Secara dhahir, Masjidil Harom ini ada di kota Makkah, maka Arah Kiblat oleh Alloh disyariatkan ke sana, jika dimaknai yang luas, tidak hanya harafiyyah, maka mengandung pengertian Arah Kiblat Hati kepada Alloh agar kita taat dan beribadah selalu kepada Alloh, tidak membuat kerusakan di bumi, dengan mencontoh manusia teladan , Nabi Muhammad SAW. Hal ini, merupakan atsar dari sholat kita, yaitu Sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar.
Hal ini akan dapat tercapai jika arah hati kita PRESISI ketika berdoa secara umum maupun sholat ( berdo'a secara khusus/syariat), yaitu selalu tertuju dan ingat kepada alloh swt.
ILHAM
Ilham, sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa, "Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia ...'." (Al-Qashash: 7).
Ilham berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah, "Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia'." (An-Nahl: 68).
Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Alquran, "Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka, 'Hendaknya kamu bertasbih di waktu pagi dan petang'." (Maryam: 11).
Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia. "Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu." (Al-An'am: 121). "Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu mereka." (Al-An'am: 112).
Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. "Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman'." (Al-Anfal: 12).
Sedang wahyu Allah kepada para nabi-Nya secara syar'i mereka definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf'ul, yaitu almuha (yang diwahyukan). Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid adalah pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang.
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir definisi meniadakan hal ini.
Bisikan yang berasal dari Tuhan tidak di bedakan dengan bisikan yang berasal dari malikat, sebab malaikat hanyalah pesuruh Allah. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menentukan dua tingkatan dalam kategori ini; Pertama, diterima melalui wahyu yang pasti dan diterima melalui pendengaran (sima’), yang berhubungan dengan berita ghaib yang besar. Wahyu di nilai sebagai pengetahuan tertinggi dari Allah SWT, karena hanya bisa diterima oleh seseorang yang jiwanya sempurna yang terbebas dari segala kemaksiatan dan dosa seperti para Nabi dan Rosul. Kedua, yaitu bisikan yang datangnya dari Allah melalui malaikat, yang memiliki tiga cirri:
1) Apabila ilham itu datang maka penerimanya tembus pandang atau tembus dengar dan tidak ada penghalang baginya
2) Tidak melangar ketentuan
3) Senantiasa bisikannya tidak akan salah
Bisikan yang berupa ilham akan menghasilkan ilmu ladunni, yaitu ilmu yang di berikan pada hamba-hamba Allah SWT. Yang jiwanya suci dan memiliki kemampuan untuk menerimanya. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Kahfi ayat 65:
“yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang telah kami ajarkan kpadanya ilmu dari sisi kami”
Ayat tersebut bahwa perolehan ilmu ladunni dapat dicapai melalui pemberian rahmat yang bersifat ilahiyah (al-rahmah al-ilabiyah). Artinya, ilmu tidak hanya dapat dicapai melalui proses belajar-mengajar, tetapi juga terkadang tiba-tiba dimiliki oleh manusia setelah mendapatkan Rahmat dari Allah SWT. Ibnu Atyah dalam tafsir Qurtubi berpendapat bahwa ilmu ladunni seperti yang disyaratkan dalam ayat tersebut mengandung makna ilmu ghaib atau pengetahuan bathin.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah selanjutnya mengkritisi term min ladunni (dari sisiKu). Term tersebut bersifat umum. Artinya oleh jadi ilmu yang diterima berasal dari rahmat Allah, yang disebut dengan al-‘ilm al-ladunni al-rahmani, dan bisa jadi berasal dari setan yang disebut dengan al-‘ilm al-ladunni al-syaithani. Jenis ilmu ladunni yang pertama merupakan buah cinta dan ikhlas kepada Allah setelah melaksanakan amalan wajib dan sunnat, sedang jenis ilmu ladunni yang kedua merupakan buah hawa nafsu dan setan untuk menentang pada waktunya.
Pengetahuan intuitif yang didapat oleh psikolog sufistik banyak ragam dan tingkatannya. Setidak-tidaknya ada dua model pengetahuan intuitif yang telah mengalami puncaknya, yaitu al-ma’rifah yang didapat oleh al-Ghazali dan al-isyraqiyah yang didapat oleh suhrawardi. Dua model pengetahuan intuitif ini sama-sama berasal dari Tuhan, hanya saja al-ma’rifah menggunakan daya al-qalb atau al-dawq tanpa mengikutsertakan peran ‘al-aqal, sementara al-isyraqiyah menggunakan pendekatan eklektis yang menggabungkan antara keduanya tersebut.
ILMU LADUNI
Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya
1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
(artinya) “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا ﴿٢٥﴾ عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴿٢٢۳﴾
“Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Assalamualaikum...
BalasHapusTerima kasih kpd penulis utk info yg sgt bernas ini. Di mana boleh sy dapatkan reference asal? utk sy gunakan dlm assignment saya.
Thank you.
Tulisannya bagus. yang gak bagus ada unsur politik di blog ini... yaitu gambar "ganti Presiden"... so, nggak jadi sya jadikan referensi...
BalasHapus