by Makalah Psikologi Team
Sebelum membahas lebih lanjut tentang bunuh diri, perlu di ketahui pengertian bunuh diri, bunuh diri adalah segala perbuatan yang sengaja di lakukan oleh seseorang yang dapat membinasakan dirinya dalam waktu yang singkat.
Hampir semua orang sekali waktu dalam hidupnya pernah mempunyai pikiran untuk lebik baik mati saja. Motivasi ini sangat kompleks. Apakah buah pikiran itu akan menjadi perbuatan atau tidak, tergantung pada keadaan lingkungan sosial serta juga keadaan jiwa maupun badan orang itu.
Di negara Amerika Serikat, umur puncak rawan bunuh diri adalah antara 24 dan 44 tahun. Kasus ini lebih banyak sungguh-sungguh dilakukan oleh kaum lelaki ketimbang kaum perempuan, namun lebih banyak dicoba dilakukan oleh kaum perempuan ketimbang kaum lelaki. Cara yang populer untuk mencoba bunuh diri baik di kalangan kaum lelaki lebih suka memilih cara yang lebih letal atau mematikan, seperti menggantung diri.
Kebanyakan percobaan bunuh diri baik dikalangan perempuan maupun lelaki di lakukan di tengah suasana percekcokan antarpribadi atau tekanan hidup berat lainnya. individu yang mengalami krisis mental, baik yang terduga (perkawinan, pensiun) maupun yang tak terduga (kematian, kehilangan pekerjaan) akan berusaha mengatasinya. Bilamana krisis bisa di atasi dengan baik, akan berakibat pematangan jiwa, dan bilamana tidak teratasi, maka individu yang bersangkutan akan jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Kelompok yang berisiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri adalah mahasiswa, penderita depresi, para lansia, pecandu alkohol, orang-orang yang berpisah atau bercerai dengan pasangan hidupnya, orang-orang yang hidup sebatang kara, kaum pendatang, para penghuni daerah yang hidup sebatang kara, kaum pendatang, para penghuni daerah kumuh dan miskin, kelompok profesional tertentu, seperti dokter, pengacara, dan psikolog.
Untuk mengikuti proses sampai terjadinya tindakan bunuh diri, dari niat sampai tindakan bunuh diri sendiri,dibawah ini ada suatu bagan.
Banyak kasus bunuh diri dilakukan karena motivasi yang sering di temukan pada orang-oarang yang ada niat untuk bunuh diri adalah:
1. Kehilangan rasa aman dan kepastian akan statusnya.
2. Depresi. Ada indikikasi bahwa sebagaian besar dari orang yang berhasil melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan.
3. Krisis dalam hibungan interpersonal. Konflik-konflik dan pemutusan hubungan, seperti konflik-konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilamham orang terkasih akibat kematian, dapat menimbulkan stres berat yang mendorong di lakukannya tindakan bunuh diri.
4. Kegagalan dan devaluasi-diri. Perasaan bahwa dirinya telah gagal dalam suatu urusan penting, biasanya menyangkut pekerjaan, dapat menimbulkan devaluasi-diri atau rasa kehilangan harga diri yang mendorong tindakan bunuh diri.
5. Konflik batin. Disini sters bersumber dari konflik batin atau pertentangan di dalam pikiran orang byang bersangkutan sendiri. Misalnya, seorang pria lajang merasa cemas. Bingung ragu-ragu antar memilih hidup atau mati, dan akhirnya memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan teka-teki itu dengan melakukan bunuh diri.
6. Kehilangan makna dan harapan hidup. Karena kehilangan makna dan harapan hidup, orang merasa bahwa hidup ini sia-sia. Akibatnya, orang memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Perasan semacam ini sering dialami oleh orang-orang yang menderita penyakit kronik atau penyakit terminal.
Niat bunuh diri ini masih terbentur pada sikap yang ambivalensi dalam bunuh diri artinya, senantiasa terjadi keraguan antara melaksanakan dan mengurungkan niat pada orang-orang yang berniat binuh diri. Untuk menghilangkan sikap ambivalensinya, ia menjabarkan gagasannya tentang konsep mati, caranya, waktu, tempat dan akibat (mental sosial). Walaupun sudah ada gagasan yang lebih jelas, tetapi masih tetap ada dualisme antara keinginan hidup dan mati, sehingga timbul krisis bunuh diri, yang bermanifestasi dalam bentuk (berkaitan dengan ambivalensi di atas) umumnya sebelumnya telah mengkomunikasikan niatnya itu kepada orang lain baik secara langsung atau tidak langsung, pengkomunikasian niat untuk bunuh diri biasanya merupakan sejenis “teriakan minta tolong”. Orang yang bersangkutan sesungguhnya sedang mengungkapkan kesedihan dan ambivalensi atau kebimbangannya untuk melakukan bunuh diri. jadi, komunikasi semacam itu merupakan peringatan sekaligus permintaan pertolongan. Bila keinginan mati jauh lebih besar dari pada keinginan untuk hidup maka (percobaan) bunuh diri akan dilaksanakan.
Percobaan bunuh diri bukan bertujuan untuk memusnahkan dirinya, tetapi untuk mengatasi masalah hidupnya, misalnya menyelesaikan frustasi atau konflik. Menghindari keadaan yang tidak menyenangkan dengan tujuan untuk mendapatkan keadaan tidur yang tenang dan damai.
MACAM-MACAM BUNUH DIRI
Menurut Scheidman dan Farberow:
1. Ancaman bunuh diri (threatened suicide)
2. Percobaan bunuh diri (Attemptep suicide)
3. Bunuh diri yang telah dilakukan (Committed suicide)
4. Depresi dengan niat hendak bunuh diri
5. Melukai diri sendiri (Self destruction)
Meminjam kata-kata Hamlet “to be or not to be”, Farberow dan Litman (1970) menggolongkan tiga jenis perilaku bunuh diri berdasarkan kencang atau kendornya niat seseorang untuk kehilangan nyawa sendiri.
Yang pertama adalah kelompok “To Be, yakni orang-orang yang tidak sungguh-sungguh ingin mati, hanya ingin menyampaikan pesan kepada orang lain tentang kesedihan yang dialaminya dan keinginannya untuk bunuh diri. Maka, percobaan bunuh dirinyapun tidak sungguh-sungguh, misalnya menelan obat tidur dalam jumlah tidak terlampau banyak. Mereka biasanya juga sudah menyiapkan agar orang lain memergoki mereka dan pasti memberikan pertolongan.
Yang kedua adalah kelompok “Not To Be”, yakni orang-orang yang sungguh-sungguh berniat menghilangkan nyawanya sendiri. Biasanya mereka tidak memberikan peringatan sebelumnya dan mengatur situasinya sedemikian rupa sehingga orang lain tidak akan bisa menolong. Mereka juga memilih cara-cara bunuh diri yang lebih mematikan, seperti menembak dirinya sendiri atau melompat dari lantai teratas gedung bertingkat.
Yang ketiga adalah kelompok “To Be Or Not To Be”, yakni orang-orang yang ragu-ragu, apakah ingin terus hidup atau mati. Biasanya mereka lalu menyerahkan keputusan itu pada faktor kebetulan atau nasib. Cara yang dipakai untuk mencoba bunuh diri biasanya berbahaya namun efeknya relatif makan waktu yang lama, sehingga masih terbuka kesempatan untuk diselamatkan. Misalnya, melukai secara serius bagian tubuh yang tidak vital.
PELAKU MAYORITAS FENOMENA BUNUH DIRI
Sebagian besar faktor-faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri yaitu terjadi pada : 1) remaja dan dewasa muda; 2) laki-laki; 3) SMU; 4) belum menikah; 5) suku sunda; 6) metode yang digunakan untuk bunuh diri adalah minum obat serangga, membenturkan kepala, minum obat tidur, menceburkan ke sumur, menabrakkan diri ke jalan, membakar diri dan menelan peniti, 7) diagnostiknya adalah Skizofrenia. Percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh klien lebih dari 1 kali.
TANDA-TANDA
A. Tanda-tanda risiko berat:
1. Keinginan mati yang sungguh-sungguh, pernyataan yang berulang-ulang bahwa ia ingin mati, yang bisa disertai dengan persiapan terinci.
2. Adanya depresi dengan gejala rasa salah dan dosa, rasa putus asa, ingin dihukum berat, rasa cemas yang hebat, rasa tidak berharga lagi, sangat berkurangnya nafsu makan, seks, dan kegiatan lain, serta adanya gangguan tidur yang berat.
3. Adanya psikosis, terutama yang impulsif, serta adanya perasaan curiga, ketakutan dan panik. Keadaan semakin berbahaya bila pasien mendengar suara (halusinasi) yang memerintahkan agar ia membunuh dirinya.
B. tanda-tanda bahaya:
1. Pernah melakukan percobaan bunih diri
2. Penyakit yang menahun.
3. ketergantungan obat dan/ atau alkohol.
4. Hipokondriasis.
5. Bertambahnya usia disertai bertambahnya masalah hidup.
6. Persaingan diri.
7. Kebangkrutan.
8. Catatan bunuh diri.
9. Kesukaran penyesuaian diri yang kronis.
10. Tak jelas adanya keuntungan sekunder.
Upaya mencegah bunuh diri sungguh sangat sulit. Salah satu penyebabnya, orang yang mengalaminya biasanya terjerat oleh cara berpikir sempit dan irasional, serta tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan pertolongan, salah satu bentuk upaya mencegah bunuh diri adalah yang disebut crisis intervension. Tujuannya adalah menolong orang yang mengatasi krisis hidup yang berat. Bentuknya bisa dengan menyediakan layanan “hot-line“ via telepon. Seseorang yang mengalami ambivalensi untuk bunuh diri akibat menderita stres berat, misalnya dapat mengontak jasa “hot-line“ ini sebelum melaksanakan niatnya, untuk mendapatkan peneguhan kembali sehingga mau mengurungkan niatnya itu.
Selain upaya pencegahan diatas, ada upaya lain untuk mencegah terjadinya bunuh diri yaitu fokus terapi diarahkan pada modifikasi lingkungan agar hubungan antar manusia lebih baik, juga di usahakan agar fungsi kejiawaan lebih dekat.
Macam-macam terapi berupa:
1. psikoterpi individual atau terapi kelompok.
2. terapi keluarga.
3. terapi obat-obatan sesuai dengan keadaan; misalnya untuk pasien dewasa: amitriptilin (25-30 mg 3x/hari), diazepam (2-5 mg 3x/hari), klorpromazin (50-10 mg 3x/hari).
Setrategi terapi:
1. memotong lingkaran pikiran bunuh diri.
2. menguatkan kembali ego pasien dan memperbaiki mekanisme pembelaan yang salah.
3. membantu pasien agar dapat hidup wajar kembali.
Umumnya kita memnadang bunuh diri sebagai tindakan yang tidak hanya tragis tetapi juga keliru. Namun, usaha mencegah orang bunuh diri bukan tanpa persoalan etis. Berhakkah kita mencegah orang mencabut nyawanya sendiri? bukankah itu hak pribadinya, untuk hidup maupun untuk mati? Satu-satunya alasan yang bisa membenarkan tindakan kita adalah fakta bahwa orang yang mencoba bunuh diri sering tidak sungguh-sungguh ingin, masih ragu-ragu, atau kalau pun bulat niat itu biasanya bersifat sesaat. Maka, upaya pencegahan tersebut secara etis bisa dibenarkan.
REKOMENDASI
1. Perlunya kewaspadaan dan penanganan secara intensif pada klien perilaku mencederai diri: bunuh diri, yaitu perlindungan bagi klien (menjauhkan dari hal-hal/benda-benda yang memudahkan klien untuk bunuh diri)
2. Perlunya peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat (apabila dalam rumah sakit) dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien bunuh diri.
3. Perlunya pendekatan khusus pada klien bunuh diri, misalnya dengan membina hubungan saling percaya sehingga klien mau menceritakan permasalahannya dan konsultan dapat mencarikan jalan keluarnya.
4. Perlunya meningkatkan dukungan sosial seperti keluarga, teman dekat dan lain-lainnyanya.
5. Perlunya penyediaan hotline service, home care atau pelayanan 24 jam.
6. Perlunya penelitian lanjutan berupa penelitian kualitatif untuk mempertajam hasil penelitian yang telah dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
· Supratinya,A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal.Yogyakarta: Kanisius.
· LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa. 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSUD.Dr. Soetomo.
· Keliat, B.A. (1993). Seri keperawatan: tingkah laku bunuh diri. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Panggabean, L. (2003). Pengembangan kesehatan perkotaan ditinjau dari aspek psikossosial. (makalah). Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat DepKes. Rs. Tidak dipublikasikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar